07: Calon mantan.

24K 942 8
                                    

Pukul tujuh malam Aruna baru menyelesaikan pekerjaannya yang lumayan banyak hari ini karena ada sedikit masalah dengan keuangan Perusahaan. Selly dan yang lainnya sudah pulang satu jam lalu, mereka sempat mengajaknya untuk pulang juga tapi Aruna menolak karena dia akan selalu merasa tidak tenang jika belum menyelesaikan sesuatu itu.

Lampu-lampu ruangan sudah di matikan sebagian besar dan Aruna juga mematikan lampu ruangan terakhirnya ini yang masih menyala. Dia membuka pintu dan jantungnya hampir melompat keluar karena terkejut setengah mati.

Untung saja dia tidak memukul orang di depannya itu yang tiba-tiba muncul, mana pakaiannya putih semua lagi, bahkan kulitnya saja juga putih. Vir menatap Aruna dengan senyuman yang tidak pernah meninggalkan bibirnya, tidak ada rasa bersalah di wajah tampannya itu padahal sudah hampir membuat Aruna serangan jantung mendadak.

"Lampu ruangan ini masih nyala, saya kira mereka lupa untuk mematikannya. Ternyata kamu masih ada di sini, kenapa belum pulang? Ini sudah malam." Ujar Vir pada karyawannya itu.

Aruna berkedip lambat dan baru menangkap maksud ucapan Vir. Dia tersenyum dan berkata, "Pekerjaan saya baru selesai tadi, ini saya juga mau pulang, Pak."

"Apa direktur Andy memberikan kalian lemburan?" Tanya Vir dan entah karena pencahayaan yang temaram atau apa tapi Aruna sekilas melihat ekspresi wajah Vir seperti tengah tidak senang.

"Tidak, Pak Pres. Direktur Andy tidak memberikan kami lemburan, saya hanya tidak tenang jika belum menyelesaikan pekerjaan ini." Dengan cepat Aruna menjelaskannya pada Vir karena tidak ingin Presdir salah paham pada Direktur keuangan.

"Ah, apa karena saham perusahaan ini sedikit menurun?" Pertanyaan itu membuat Aruna tercengang tidak percaya.

Sedikit?... Apa 20% itu sedikit bagi anda, Pak Presdir?

"Kamu tidak perlu khawatir, perusahaan kami memiliki Gilang." Kata Vir santai, dia memberikan Aruna senyuman lembut mencoba menenangkan Aruna.

Bingung, Aruna membeo. "Gilang? Asisten pribadi anda?"

Vir mengangguk, "Ya, dia itu multitalenta."

Aruna hanya menganggut-anggut saja dan tidak bertanya lebih banyak lagi.

"Em.. jika begitu, saya permisi." Ujar Aruna setelah terdiam sejenak, dia membungkuk sedikit dan akan berlalu pergi.

Langkahnya terhenti karena sebuah tangan melingkari lengan kirinya yang terbalut blazer hijau mint, Aruna menoleh dan menatap bingung Vir.

"Ini sudah malam, berbahaya jika kamu pulang sendirian. Saya akan mengantar kamu. Tidak ada penolakan." Kata Vir dengan wajah serius, dia membawa Aruna berjalan dengan tangannya yang masih menggenggam pergelangan tangan Aruna erat.

Suara langkah kaki terdengar lembut di lorong itu, di bawah lampu yang temaram Aruna menatap tangan besar yang menggenggam erat pergelangan tangannya.

Itu tidak menyakitinya dan malah memberikan Aruna perasaan seolah seperti di lindungi.

Hatinya menghangat saat tangan itu melingkari pergelangan tangannya. Jantung Aruna terpompa lebih cepat. Dia terkejut karena degup jantungnya sendiri yang sedikit menggila.

Perasaan apa ini...?

• • • •

Mobil BMW XM hitam corak biru gelap itu terparkir di depan pagar rumah minimalis. Dua orang, satu tampan tinggi dan satunya lagi cukup cantik dan pendek juga gen-- montok keluar dari dalam mobil mewah tersebut.

Aruna menatap Vir dengan sedikit ragu-ragu.

"Emm.. anu, mau mampir dulu, Pak?"

Yang di tawarin seperti itu tentu saja mengangguk semangat, bahkan Aruna sampai takut jika kepala Vir akan copot.

Keduanya berjalan memasuki halaman rumah dengan santai, lampu jalan di dekat pagar rumah memberikan pencahayaan temaram pada setiap langkah keduanya.

Ada pohon rambutan cangkok di sisi kanan dekat pagar dan ada pohon bunga kertas di sisi kiri halaman, bunga-bunga peony yang di tanam di sekeliling pagar bagian dalam terlihat indah berkilau karena cahaya lampu jalan dan rembulan malam. pekarangan rumah itu tidak terlalu luas jadi mereka berdua sudah sampai di depan pintu rumah Aruna.

Pintu di ketuk sedang oleh Aruna, enam kali ketukan di pintu tapi pintu tidak juga terbuka.

Menghela nafas panjang, Aruna menatap Vir dengan tidak enak. "Mamah saya sedikit tuli, Pak, mohon maaf ya."

Pintu di ketuk lagi, kali ini sedikit brutal oleh Aruna.

BRAK! BRAK! BRAK!

Vir tidak kaget, karena dia sudah memiliki firasat jika hal ini akan terjadi.

Kaget dikit gak ngaruh wir.

"IYA SEBENTARR!!"

Teriakan terdengar dari dalam, tidak lama pintu terbuka dan menampakkan seorang wanita paruh baya yang terlihat kurus dan rapuh tapi masih ada jejak semangat di dalam matanya yang berbinar.

"Ah, Moi, udah pulang ternyata. ayo masu- eh, ini siapa...?" Ucapan Ibu Aruna terhenti dan menatap penasaran pria tampan yang berdiri kokoh di samping anaknya.

Aruna buru-buru memperkenalkan pria di sebelahnya pada Sang ibu sebelum kesalahan pahaman terjadi. "Ini Presdir Aruna, Mah. Namanya--"

"Nama saya Vier, anda bisa memanggil saya Vir atau calon mantu, tante." Potong Vir dengan ramah dan senang seraya membungkuk sopan, dia menatap wanita paruh baya di depannya dengan penuh antusias. Ketemu Calon mertua nih, wajar dong se-excited itu.

"Calon mantan?" Kata ibu Aruna-- Rini Selani dengan bingung, mantan siapa? Mantan anaknya? Yang bener aja, mana mungkin anaknya bisa punya mantan secakep ini, di putusin lagi. Parah kali anaknya itu.

Bahu Aruna bergetar pelan karena menahan tawa mendengar pertanyaan Ibunya, udah di bilangin juga kalau ibunya itu agak budeg, tapi Vir masih saja ingin cari muka di depan ibunya.

Makan tuh calon mantan.

Tapi Vir masih tangguh dan tidak merasa malu sedikitpun, dia malah kembali mengulangi perkataannya dengan sabar dan sedikit kencang. "Calon menantu Tante."

"Ohh, calon menantu tante.. hah? Apa? Calon menantu saya?" Dengan mata sedikit melebar, Rini menatap pria tampan di depannya dengan tidak percaya. kemudian menatap Anak perawanya meminta penjelasan. "Ini pacar kamu, Moi? Kok gak ngasih tau mamah, sih?"

Aruna membuang nafas kasar. "Bukan, Mah, dia bos aku. Pak Presdir emang suka bercanda, Mah, jangan di anggap serius omongannya."

"Saya serius." Sahut Vir tidak terima di katai jika ucapannya adalah bercanda, padahal kan dia memang ingin jadi menantu Mamah Rini.

Rini terkejut dan gelagapan sendiri mendengar penjelasan Aruna bahwa pria itu adalah bosnya. Dia membungkuk merasa bersalah. "Ya ampun, saya gak tau kalo anda atasan Aruna. Maafin saya, ya, Pak."

"Tidak apa-apa, Tante. Jangan begitu sopan sama saya, harusnya saya yang lebih sopan sama Tante karena anda kan calon mertua saya." Ujar Vir dan sengaja di kencangin suaranya agar calon ibu mertua tulinya itu mendengar suaranya.

Rini tersenyum lebar dan mengangguk. "Iya, Tante restuin, kok."

"Beneran, Tante?" Seru Vir senang mendengar ucapan wanita tua itu. Rini mengangguk dan kemudian mengajak Vir untuk masuk ke dalam rumah.

Meninggalkan Aruna yang tengah berwajah gelap dan batin yang terus mengumpat.

Tahu begini, tadi Aruna langsung saja mengusir Vir.

Kini Aruna menyesal karena sudah mengajak Vir untuk mampir ke rumahnya.

Setelah bertemu dengan Presdirnya itu, batin Aruna yang selalu suci kini sudah berubah menjadi tampungan berbagai macam umpatan sayang.

Si Montok Milik Presdir - END [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang