S2|59: Mari bingung bersama.

10.1K 619 19
                                    

Vir terperosok terjengkang nyungsep ke samping karena kekuatan tangan bocah-bocah tengik itu yang tidak main-main, Rafaizan dan ketiga adiknya mengangkat alisnya merasa terkejut namun juga sedikit tertarik dengan pemandangan di sana. Puas sekali mereka melihat Sang ayah ternistakan, tapi sedikit jengkel juga melihat ketiga pendatang baru itu yang dengan lancangnya memeluk Sang Ibu.

Siapa mereka? Itu pertanyaan yang ada di dalam pikiran mereka berempat.

Aruna terkejut dan bingung, tubuhnya sekarang di timpa oleh tiga pria besar di atas sofa. Siapa mereka? Siapa pria kembar in- Aruna langsung teringat pada tiga tuyul, maksudnya tiga anak Wilona dan Zaidan. Apa mereka ini adalah..

"Azka? Aska?.. Askar..?" Panggil Aruna dengan ragu-ragu.

"Aunty~" Yang merengek adalah Askar, ketiga pria kembar itu semakin mengeratkan pelukannya karena rindu.

"Iya- uhuk, engap- lepas dulu," Tangannya menepuk-nepuk kencang lengan Azka dan Aska yang posisinya memeluk Aruna di sisi kanan-kiri, Askar memeluknya di tengah.

Bisa kalian bayangkan bagaimana Aruna kesusahan bernafas, satu pria saja bobot tubuhnya bisa mencapai 50 lebih, ini tiga pria dewasa sekaligus. Meskipun Aruna montok, bukan berarti dirinya kuat menahan bobot yang menimpanya ini.

Masih untung organ dalamnya tidak mejrel keluar.

Ketiga pria yang memeluknya di hempaskan oleh empat anak kembar, kini gantian yang memeluk Aruna adalah anak-anaknya sendiri. Nambah parah lagi ini mah. Bisa mati Aruna lama-lama.

"Siapa kalian peluk-peluk bunda gue?" Kedua alis Rafaizan menukik tajam pada ketiga pria itu.

"Belani banget kalian main peluk-peluk Bunda!" Ravindra menatap nyalang mereka yang di mana itu tidaklah menyeramkan, malah menggemaskan.

Keempat anak berwajah serupa itu memeluk Aruna dengan posesif. Sifat itu benar-benar menurun dari Ayahnya.

"Sayang, jangan gitu. Lepas dulu, Bunda susah nafas ini." Pinta Aruna dengan halus pada anak-anaknya, mereka menurut dan melepaskan pelukan pada Aruna. Akhirnya dia bisa bernafas lega.

Aruna berdehem pelan, melihat mereka semua sepertinya dirinya harus menjelaskannya. "kalian duduk dulu,"

Rafaizan dan adik-adiknya duduk kembali di sofa, tapi masih menatap nyalang tiga pendatang baru itu. Vir juga kembali duduk di samping Aruna. Tiga pria berwajah serupa itu juga duduk di sofa seberang empat anak kembar.

"Kalian bertiga.." Ekspresinya menampilkan perasaan sendu namun bahagia, "Udah lama banget ya ternyata, dulu kalian masih kecil banget, tapi sekarang udah segede gini aja.." Aruna menatap mereka dengan teduh.

Dia bangun dan berjalan ke arah tiga keponakannya itu. Tangan buntet nya mengelus pipi mereka satu persatu, Aruna tersenyum lembut. "Maafin Aunty ya udah ninggalin kalian tanpa ngasih tau dulu, pikiran Aunty sempit banget waktu itu."

"Tidak apa-apa, Aunty tidak bersalah. Uncle yang salah." Ujar Azka seraya mengelus jemari tangan Aunty kesayangannya itu.

Vir mendengus tapi tidak bisa mengelak.

Aska mengangguk. "Iya, Aunty tidak perlu meminta maaf."

Mata Askar sudah berkaca-kaca akan menangis, Aruna tersenyum dan mengusap rahang tegasnya. "Jangan nangis, cowok itu harus gentle."

"Tidak menangis." Askar menahan air matanya kuat-kuat tapi tetap saja lolos. Pria berumur dua puluh enam tahun itu menangis seperti anak kecil. Askar memeluk pinggang tebal Aruna dan menyembunyikan wajah berairnya di perut Aruna.

Dirinya menangis karena bahagia, rasa rindunya akhirnya terobati. Ketiga bocah tengik itu memeluk Aruna kembali dan menangis. Mereka memang cengeng jika sudah menyangkut tentang Aunty tersayangnya.

"Cup, cup, cup," Aruna menepuk-nepuk punggung terkulai mereka, dulu tinggi mereka hanya sebatas dadanya saja tapi sekarang para keponakannya sangat tinggi menjulang. Bahkan sudah sepantaran dengan tinggi badan Vir.

Tingkah ketiga pria dewasa itu mengundang tatapan sinis dan julid dari kelima pria lainnya.

"Noh, del, join sana mewek sama mereka bertiga." Ravinka menyenggol lengan Sang adik, Ravindra.

"Ih, apasi!?" Ketus Ravindra kesal karena ejekan Sang Abang kedua. Matanya yang sudah ikut berembun karena pemandangan did depannya itu jadi makin berembun banyak karena ejekan Ravinka.

"Diam." Tukas Rezvan pada dua curut di sampingnya yang berisik itu.

Acara Teletubbies sudah berakhir dan kini Aruna duduk kembali di dekat Vir, Rafaizan dan adik-adiknya mulai bertanya-tanya.

"Bunda, meleka itu siapa?"

"Kenapa mereka meluk-meluk Bunda segala?"

"Iya, Bun, siapa?"

"?"

Sang ibu menggeleng kecil mendengar tuntutan pertanyaan dari anak-anaknya, Aruna menjawab dan menjelaskan.

"Mereka itu Abang sepupu kalian, anaknya Om Zaidan sama Aunty Wilona." Aruna mencoba mengingat-ingat wajah pria kembar itu, maklum sudah lama tidak bertemu jadi sedikit lupa. Apalagi mereka berwajah serupa. Lalu mata Aruna menangkap anting putih di telinga kiri mereka bertiga. Bibirnya tersenyum saat melihat mereka ternyata masih menggunakan anting pemberiannya.

Anting-anting itu adalah hadiah ulangtahun untuk mereka dari Aruna saat usia mereka menginjak 9 tahun, bukan hanya sebatas hadiah sih, juga merujuk ke tanda pengenal mereka bertiga. Jika tidak salah Anting dengan rumbai bulan sabit adalah Azka, Anting dengan rumbai bintang adalah Aska, dan Anting dengan rumbai planet Saturnus adalah Askar.

"Yang ujung sana namanya Aska, yang di tengah namanya Askar terus yang di sampingnya itu namanya Azka. Mereka sama seperti kalian, kembar. Mungkin bakal agak susah buat bedainnya tapi nanti pasti bisa bedain." Ujar Aruna memperkenalkan keponakannya satu persatu, keempat anak-anaknya hanya ber-oh ria saja meskipun sulit mengenali.

Ketiga pria dewasa berwajah serupa itu menatap mereka dengan angkuh, seolah berkata 'Bocah jangan main-main sama Abang'

Cuih.

"Lalu kalian bertiga, kenalin mereka anak-anak Aunty. Yang deket Aunty ini namanya Rafaizan, anak pertama. Di sampingnya itu Rezvan, Anak ketiga. Terus di samping Rezvan namanya Ravindra, Si bungsu. Itu yang di ujung sana namanya Ravinka, anak kedua." Aruna memperkenalkan anak-anaknya kepada mereka bertiga, bisa di lihat para keponakannya itu mengerutkan dahi. Sepertinya bingung.

Bodo amat, mumet-mumet dah lu semua.

Author juga puyeng, kok.

Mari bingung bersama.

"Oh iya, gimana kabar Papi sama Mami kalian? Mereka baik-baik aja, kan?"

"Mereka sudah mati."

Hening.

Si Montok Milik Presdir - END [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang