08: Di Restui

25.3K 1K 4
                                    

"Silakan duduk, Nak Vir, anggap rumah sendiri aja. Maaf ya kalo rumah kami kecil begini." Kata Rini Sopan dan menuntun Vir agar duduk di sofa yang tidak empuk karena lebih banyak yang terbuat dari kayu, itupun sudah di makan rayap sedikit demi sedikit.

Vir duduk di sofa, tersenyum dan menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Tante."

Rini tersenyum lega, dia menoleh ke arah anaknya yang tengah berjalan dengan lunglai ke arahnya. "Moi, kamu ambil minum atau teh anget buat bos kamu ini sana."

"Mah, tap--"

"Cepetan Gemoiii," potong Sang Ibu dengan suara yang di lembut kan, merayu-- lebih tepatnya memaksa anaknya agar mau.

Dengan wajah memerah karena malu karena perkataan ibunya itu Aruna berjalan cepat menuju dapur rumah yang di sekat oleh dinding sebagian.

Bibir Vir tersenyum geli melihatnya. "Gemoi.."

"Iya, kenapa, Nak Vir?" Tanya Rini karena merasa jika Vir berkata sesuatu.

Menggeleng, Vir tersenyum tipis. "Anak Tante lucu, saya suka."

Bisa di lihat bibir wanita paruh baya yang masih berdiri di sisi sofa itu melengkung lembut. Rini duduk di sofa samping Vir dan pandangannya seolah menembus dinding pembatas dapur, melihat anaknya yang tengah membuat minuman untuk Vir.

"Kalo kamu suka sama anak tante, kejar." Ujar Rini, dia menoleh ke arah Vir. "Tante percaya kalo kamu itu sungguh-sungguh sama Moi. Tapi kamu harus sabar aja. Aruna itu lambat dan kurang memperdulikan tentang percintaannya, dia lebih fokus pada pekerjaannya karena dia selalu merasa jika tante adalah tangguh jawabannya. Padahal mah Tante juga masih bisa jaga diri tante sendiri."

Ibu satu anak itu berkata begitu bukan tanpa alasan, dia sudah tua dan dia juga sudah mengalami berbagai macam, Rini sudah melihat apa itu ketulusan dan ketidak tulusan. Dia sudah melalui banyak hal. Rini sudah bisa mengetahui perasaan Pria muda di sampingnya ini saat dia menatap anaknya. Hanya dalam sekali lihat saja Rini sudah tahu jika Vir mencintai Aruna, Anaknya.

Yah, meskipun sedikit ugal-ugalan dan agresif. Maklum, anak muda jaman sekarang.

"Meskipun kamu bosnya Aruna, tapi saya tidak akan segan-segan untuk menyakiti kamu jika kamu membuat anak saya nangis nanti karena sakit hati. Bahkan mendiang ayahnya juga akan menghantui kamu." Lanjut Rini dengan senyuman lembut yang membuat bulu kuduk Vir berdiri.

Baru kali ini seorang Vir merasa takut hanya karena ancaman Calon ibu mertuanya.

"Iya, Tante. Saya tidak akan menyerah sampai anak tante jadi milik saya." Jawab Vir dengan tulus. "Aruna akan saya lindungi, tidak akan menyakitinya. Saya juga bakalan jaga tante, karena tante itu kan sekarang calon mertua Vir."

Rini tersenyum hangat, dia menepuk pelan punggung tangan kanan Vir yang menumpuk di atas pegangan sofa. "Jangan kecewakan Tante, Nak Vir."

Vir menjawabnya dengan senyuman dan usapan menenangkan di punggung tangannya.

Dari bibir pintu dapur Aruna muncul dengan membawa nampan kecil berisi gelas teh hangat, dia meletakkan gelas teh dan nampan kecilnya di atas meja kotak.

"Cuma ada teh anget saja, tidak apa-apa kan, Pak?" Ujar Aruna merasa tidak enak karena hanya menyuguhkan teh hangat saja pada atasannya itu, meksipun Presdir menyebalkan, tapi bagaimanapun juga dia itu tetap Presdirnya. Orang yang akan menjamin hidupnya dan Sang ibu ke depannya.

"Tidak perlu repot-repot padahal. Terimakasih, Moi." Vir tersenyum menggoda Aruna dengan panggilan yang di berikan oleh Ibunya; 'Gemoi'.

Mulut Aruna terbuka dan tertutup tanpa bisa mengeluarkan ucapannya karena malu juga kesal. Dia hanya bisa tersenyum tertekan dan duduk di sofa terakhir yang masih kosong.

Letak Sofa itu membentuk huruf L dengan meja persegi kotak di letakkan di tengah. Dan Aruna duduk di sofa yang posisinya dekat dengan Sang ibu dan jauh dari Vir. Lebih jauh lebih baik.

Ibunya dan Vir saling bercengkrama bersama, membicarakan banyak hal acak. Aruna hanya diam di samping ibunya dengan tatapan yang menatap lurus meja di depannya. Dia tidak membuka suara sedikitpun hingga Vir memanggilnya.

"Iya kan, Ar?"

"A-hah.. iya, Pak." Jawab Aruna bingung, pasalnya Aruna tidak terlalu mendengarkan obrolan keduanya dan malah melamun.

Raut wajah Vir terlihat geli dan antusias di saat bersamaan ketika mendengar jawaban Aruna. "Tuh kan, Tante. Aruna juga mau jadi istri saya."

Aruna yang mendengar ucapan Vir langsung mengerti apa yang tengah mereka obrolkan, dia sontak membantah keras. "Ga- tidak! Siapa yang mau jadi istri bapak, coba?"

"Kamu itu, Moi." Rini menoyor gemas pelipis Aruna dan membuatnya menggerutu pelan. "Makanya, jangan planga plongo terus. Ikut nimbrung kalo orang lagi ngobrol."

Vir terkekeh kecil melihat interaksi ibu dan anak di sebelahnya itu. Melihat tingkah laku Calon ibu mertuanya membuat Vir jadi tahu jika Sifat pendiam nya Aruna itu ternyata bukan menurun dari ibunya, pasti dari Ayahnya yang sudah meninggal.

Malam semakin larut, bulan bersinar terang hampir mencapai puncaknya. Tidak ada bintang, tandanya berarti akan segera turun hujan.

Angin juga lumayan kencang di lihat dari gorden rumah yang bergoyang-goyang ribut. Sepertinya juga akan ada sedikit badai.

Melirik jam tangan bermerek Chopard silver yang melilit pergelangan tangan kanannya, raut wajah Vir berubah menjadi lesu selama beberapa detik saat melihat sudah pukul sebelas malam. Vir kemudian tersenyum dan berkata lembut pada Calon Ibu mertua dan Calon istrinya itu.

"Tante, Ar, ini sudah terlalu larut. Saya pamit pulang dulu."

"Anginnya kenceng banget, kamu yakin gak mau nginep aja di sini sampe besok pagi?" Tanya Rini mengkhawatirkan Calon menantunya itu. Vir berbinar-binar mendengar tawaran itu.

Jika lampu hijau sudah menyala, kenapa harus nolak?

"Mamah apa-apaan sih? Pak Pres itu harus pulang, dia pasti banyak kerjaan di rumahnya. Mamah jangan gitu," Sela Aruna cepat, dia sebenarnya juga khawatir saat melihat cuacanya yang tiba-tiba berangin kencang begini tapi dia juga tidak bisa membiarkan predator itu menginap di rumah mereka apalagi rumah mereka ini kecil dan hanya memiliki dua kamar, Kamarnya dan kamar Sang Ibu saja.

Sofa mereka juga kecil, mau tidur di mana Presdirnya itu? Di atas genteng?

Mungkin hari ini bukan keberuntungannya, Vir terpaksa menolak dengan ramah meskipun hatinya sudah uring-uringan menangis darah.

"Tante sama Aruna tidak perlu khawatir, saya akan baik-baik saja di perjalanan." Kata Vir pada keduanya seraya bangkit berdiri, Rini dan Aruna juga ikut berdiri.

"Ya udah, hati-hati di jalan nya, ya. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya." Rini mengusap lengan Vir, seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan anaknya.

Hati Vir menghangat karena perlakuan Rini padanya. "Iya, Tante."

Kemudian dia menatap Aruna dengan genit.

"Saya pulang dulu ya, Gemoi."

Si Montok Milik Presdir - END [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang