17: Bian.. anak kita sudah besar.

18.8K 861 2
                                    

Kicauan burung-burung mengalun berisik di pagi hari yang mendung itu, dari semalam cuacanya memang tidak mendukung. Ini hari Minggu, tepat satu bulan setelah Aruna dan Vir jadian.

Masih pukul enam pagi, Aruna juga masih bergelut di bawah selimut tipisnya, niatnya sih ingin terus tidur hingga siang hari tapi entah kenapa matanya sangat tidak bisa di ajak kerjasama jika hari libur begini, malah seger. Berbeda sekali dengan hari Senin hingga Sabtu, malah merem. Hawanya ingin tidur terus dan malas untuk pergi bekerja.

Cuacanya mendukung untuk lanjut tidur tapi mata Aruna nya yang tidak mendukung. Menghela nafas gusar, dia akhirnya menyerah dan kemudian bangkit dari tidurnya.

Hawa dingin menelusup menembus baju tidur panjangnya, bulu di tangan serta punggung Aruna berdiri karena udara dingin pagi hari di tambah cuaca yang mendung.

Aruna keluar dari dalam kamarnya dan mendengar suara ribut dari dapur, pasti ibunya sudah bangun dan tengah menghangatkan nasi. Dia berjalan ke arah dapur yang jaraknya hanya lima langkah dari letak pintu kamarnya, Aruna berdiri di ambang pintu dan melihat Sang ibu yang tengah menyalakan kompor dengan panci kukus yang sudah di letakkan di atas tungku kompornya.

Mereka masih menggunakan panci kukus untuk memasak nasi dan menghangatkannya. Kenapa tidak membeli mejikom saja, Kan Aruna sudah punya uang gaji? Jawabannya adalah Rini yang sudah merasa nyaman menggunakan paci kukus, dan Aruna yang lebih menyukai nasi yang di masak menggunakan panci kukus, rasanya jauh lebih enak saja.

Hitung-hitung hemat listrik.

Cukup lampu, charger ponsel dan televisi saja yang menggunakan listrik, masak nasi jangan. Tapi gak tau nanti mah.

"Mah," Panggil Aruna sedikit keras, Rini menoleh dan tersenyum lembut pada anaknya.

"Kenapa bangun? Ini hari Minggu, masih pagi juga, kamu lanjut tidur aja. Istirahat."

Aruna menggeleng pelan dan berjalan mendekati ibunya, dia meletakkan dagunya di pundak sang ibu.

Rini mengelus pipi chubby Aruna dengan lembut dan berkata, "Kenapa, hn?"

Jika Aruna sudah bertindak manja begini pasti dia lagi ada suatu masalah yang ingin di ceritakan, Rini tahu betul anak semata wayangnya ini. Rini tidak pernah memaksa Aruna untuk bercerita tentang masalah pribadinya, dia tahu jika Aruna juga kan bercerita kalau sudah siap dan sudah merasa tidak tahan lagi untuk memendamnya.

Rini menuntun anaknya ke ruang tamu dan keduanya duduk di atas sofa. Gorden rumah masih tertutup rapat dan pintu masih di kunci, ini masih pagi.

"Mau cerita?" Tanya Rini pada Sang anak.

Selain menjadi seorang ibu, Rini juga mengambil peran ayah dan teman curhat untuk anaknya itu. Meskipun Rini tidak pernah serius tapi saat ini mungkin bukan saatnya untuk bercanda, anaknya sedang butuh teman cerita.

Helaan nafas panjang terdengar dari anaknya satu-satunya itu. Aruna menjatuhkan keningnya ke atas pundak Sang ibu.

"Aku sama Pak Pres pacaran, Mah."

Hening sesaat sebelum Rini menanggapinya dengan santai. "Bagus dong,"

"Ih, Mamah mah." Gerutu Aruna sebal. Ibunya itu memang benar-benar sangat merestui hubungan Aruna dan Vir.

"Mah," ujar Aruna pelan, "Hubungan ini, .. aku takut."

Bibir Rini tersenyum tipis, dia mengusap kepala Aruna dengan perhatian. "Mamah ngerti."

Menjalin hubungan dengan orang yang kasta dan segalanya lebih tinggi daripada kita itu memang sulit. Hati kita akan menjadi cemas, bahagia dan takut di saat bersamaan. Cemas memikirkan kedepannya akan seperti apa dan apa masih akan terus bertahan? Bahagia karena sudah mendapatkan orang yang dia cintai dan di cintai. Takut.. apa dirinya akan di hargai dengan tulus oleh orang yang lebih tinggi daripada kita?

Pemikiran dan perasaan seperti itu pasti akan ada di setiap manusia.

Hal ini wajar untuk seseorang seperti Aruna yang baru merasakan apa itu cinta, yang baru merasakan di cintai oleh orang lain selain orang tuanya sendiri.

"Jangan takut, ada Mamah di sini. Kalo dia berani nyakitin Gemoinya Mamah ini, bakal Mamah tak hihih tuh orang meskipun dia bos kamu." Kata Rini menenangkan dan sedikit memberikan candaan agar anaknya tidak lagi murung.

Aruna tersenyum kecil mendengar perkataan ibunya itu.

"Kamu harus berani. Anak Mamah itu, berani membuat keputusan maka berani juga menanggung akibatnya." Rini menepuk pundak anaknya memberikan dukungan dan kekuatan.

Aruna menggerakkan kepalanya menghadap ke samping dan masih menempel di pundak sang ibu.

"Mamah bener, aku yang mengambil langkah ini maka aku juga yang harus melewati jalannya." Ujar Aruna pelan, tapi nada suaranya jelas tangguh. Dia tersenyum teduh menatap lantai putih di bawahnya.

Wajah bantal Aruna, kotoran di sudut matanya itu memberitahukan jika dia belum cuci muka. Bodo lah, masih pagi, dingin.

Bibir Rini terangkat menjadi senyuman hangat dan menggenggam tangan Sang anak.

Dia baru menyadari, Anaknya itu sudah dewasa ternyata.

Mata cokelat cerah milik Rini menatap lurus ke depan, memandang pantulan mereka di dalam layar televisi yang hitam.

Mereka hanya berdua, tapi di dalam pantulan itu ada tiga orang. Itu keluarga yang utuh. Suaminya, ayah Aruna-- Abian Cielo tengah tersenyum hangat dan memeluk istri serta anaknya dengan penuh kasih.

Rini menyenderkan kepalanya ke atas kepala Aruna dan memeluknya lembut, dia memejamkan matanya dan bergumam dalam hati dengan sendu.

'Bian.. anak kita sudah besar.'

Si Montok Milik Presdir - END [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang