06: Presdir dan Nyonya.

31.4K 1.3K 10
                                    

Hahhhh....

Helaan nafas panjang dan berat keluar dari mulut wanita gendut-- montok itu.

Rekan-rekan kerjanya hanya bisa memandang iba Aruna tanpa bisa membantu. Tentu saja, mana mungkin mereka berani membantah Presdir.

Baru kembali bekerja setelah kemarin akhir pekan, tapi Aruna sudah di buat tertekan dan kesal karena Sang Presdir, Vier.

Dari pagi hingga kini siang hari Aruna terus saja di panggil ke ruangan Presdir oleh Presdirnya itu. Bukan, bukan di panggil karena pekerjaan tapi di panggil karena ingin di temani bekerja. Bukan, bukan bekerja, Aruna tidak ada melihat Presdir bekerja atau melakukan kegiatan lainnya selain hanya memandangi Aruna hingga membuatnya merinding setengah mati.

Di panggil, di tahan satu jam, di bebaskan selama dua puluh menit, lalu di panggil lagi dan di tahan lagi selama satu jam. Terus saja begitu dari di mulainya bekerja sampai jam makan siang sudah tiba.

Bagaimana Aruna tidak kesal coba?

Presdirnya itu niat jadi Presdir gak sih? Sia-sia itu gelar Pemimpin perusahaan di berikan padanya tapi Vir hanya main-main saja dalam bekerja.

Tak habis pikir Aruna tuh sama Pak Pres.

"Na, ayo maka--"

Cklek

"Aruna, mari ikut saya, Presdir memanggil anda ke ruangannya."

Perkataan Selly terpotong oleh suara pintu yang terbuka dan ucapan Gilang si pembuka pintu. Selly hanya bisa menggeram emosi di balik senyumannya.

"Tapi, Asisten Presdir, ini jam makan siang dan Aruna harus beristirahat dulu sebentar untuk makan." Jenar yang sudah tidak tahan akhirnya bersuara dengan sopan namun penuh tekanan.

Gilang hanya tersenyum ramah dan membalas, "Silahkan saja jika kalian ingin makan siang, Aruna nya saya pinjam dulu. Terimakasih."

Kemudian dia menarik Aruna kembali ke Ruangan Presdir tanpa menghiraukan tatapan membunuh Rekan-rekan Aruna pada punggungnya.

Tahan Aruna, gak boleh ngomong kasar..

Hahh... Sabar, sabar.

Presdir monyet.

Aruna itu anak baik, tidak pernah mengumpat kasar, entah itu secara lisan ataupun secara batin. Tapi Aruna sepertinya sudah sangat kesal sampai ubun-ubun karena Presdir satu ini.

Ingin sekali Aruna teriak di depan wajah tampan tapi menyebalkan Vir. Berteriak sekuat tenaga hingga Presdirnya itu menderita ketulian permanen, bodoamat.

"Apa yang bisa saya bantu lagi, Pak Pres?"

Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Aruna harus tetap ramah dan sopan pada Presdir ini meskipun kesabaran Aruna yang selalu tebal kini hanya setipis tisu kena air, dia harus bertahan untuk mendapatkan uang. Aruna masih memiliki seorang ibu yang harus dia jaga dengan baik.

"Kamu sudah datang, sini duduk." Vir tersenyum lembut dan melambaikan tangannya pada Aruna, sepenuhnya tidak menganggap Gilang yang berdiri di depan Aruna.

"Jika begitu saya permisi dulu, Presdir dan Nyonya." Ujar Gilang sopan, membenarkan letak kacamata yang tertera di hidung mancungnya dan membungkuk sedang.

Daripada menjadi nyamuk, mending Gilang pergi cari yang bening-bening di dalam perusahaan ini. Selain Gudangnya Elektronik terbesar sedunia, perusahaan ini juga segudang nya janda dan perawan muda.

Pintu tertutup di belakang tubuh Aruna.

Vir kembali memanggil Aruna yang masih berdiri di tempat karena memikirkan kata terakhir yang di ucapkan oleh gilang.

'Nyonya?.. emang aku setua itu, ya?' Batin Aruna masam.

"Eh-!" Dia tersentak kaget saat Vir tiba-tiba memegang lengannya dan membawa-- menyeretnya untuk duduk di atas sofa empuk. Aruna sontak berdiri dan membungkuk sedang.

"Maaf, Pak, tidak sopan jika Saya duduk di sini."

"Terus, kamu mau duduk di atas pangkuan saya? Ya udah, sini." Kata Vir sembari menepuk pahanya dan melemparkan senyuman genit pada Aruna.

Aruna mendudukkan kembali pantatnya di atas sofa empuk tersebut dan menjaga jarak dari Presdir sugiono nya itu.

Vir terkekeh geli melihatnya. Gemes banget sih calon istrinya itu.

"Ayo di makan, jangan malu-malu." Kata Vir dengan menggeser kotak makanan di atas meja persegi panjang itu ke depan Aruna.

Di atas meja persegi panjang yang lumayan besar itu terdapat berbagai macam makanan berat dan makanan ringan, seperti; Mie ayam, bakso, ayam bakar bumbu pedas, ayam geprek, rendang sapi, hamburger, tumis capcay, dua kotak nasi padang. Desert, cokelat di donatin, cup cake, buah-buahan yang sudah di potong-potong kecil dan di masukkan ke dalam wadah. Dan terakhir ada dua cup minuman dingin dan dua gelas air putih.

"Ini.. Bapak mau makan apa mau mukbang, Pak? Banyak banget." Tanya Aruna dengan matanya yang menatap syok berbagai macam jenis makanan dan minuman di atas meja, bahkan kaca mejanya saja tidak kelihatan karena tertutupi oleh makanan-makanan tersebut. Aruna tanpa sadar meneguk ludahnya sendiri karena ngiler.

"Dua-duanya. Udah, ayo kita makan, mumpung masih hangat." Vir mengambil satu mangkuk bakso dan menyendok bakso kecilnya, "Aaa,"

Sendok berisi bakso itu menggantung di depan bibir Aruna, menunggu terbukanya mulut. Aruna hanya menurut saja, dia menerima suapan bakso dari Vir. Sebab jika menolak, Aruna akan merasa tidak enak nantinya pada Vir, lagipula kan hanya suapan saja juga baksonya kelihatan enak banget.

Saat Vir akan menyuapi Aruna lagi, sendok di tangannya di ambil alih dengan sopan oleh Aruna. "Sa-saya bisa sendiri, Pak."

Vir tersenyum tipis dan membiarkan Aruna makan sendiri.

Mungkin keesokan harinya berat badan Aruna akan bertambah karena di jejelin lemak-lemak padat ini oleh Vir.

Keduanya makan dengan tenang sembari menikmati pemandangan langit biru lewat jendela besar di depan pandangan mereka.

Tidak, hanya Aruna saja yang memandangi langit.

Mata Tuan muda pertama Zealand itu sepenuhnya hanya memandangi pemandangan indah di sampingnya ini, cinta pertamanya.

Lebih indah dari pemandangan langit di balik jendela sana.

Keindahan abadi dan hanya untuknya sendiri.

Si Montok Milik Presdir [END-SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang