#42 Tempat Penghubung

3 1 0
                                    

Selamat membaca

*
*

Hari perlahan berubah menjadi malam, tatkala suasana sedang di guncang kesedihan. Satu mobil pergi meninggalkan rumah sakit, dengan diikuti beberapa mobil di belakangnya. Zayden menjadi pengemudi mobil dengan Kenzo yang duduk di sebelahnya, lantas sang adik dan kaka duduk di kursi belakang. Tidak ada obrolan selama perjalanan, selain aku yang hanya bersandar di bahu Galen.

Aku bisa merasakan dengan jelas, seberapa beratnya tarikan nafas dari tubuh Galen. Berat, memang berat dan terasa semakin berat. Aku pikir, aku bisa mengakhiri semua ini sendiri, namun entah kenapa aku malah melibatkan banyak orang untuk akhir dari perjalanan ini. Aku pun tidak menyangka, rasa sakit yang menyatukan kita semua seperti memberi ruang yang berbeda.

Mataku tertutup, sembari meresapi semua yang terjadi. Tapi telingaku mendengar selama perjalanan menuju sebuah tempat.

"Apa ada dua?" tanya Kenzo memastikan.

"Sepertinya lebih, mobil di depan kita seperti memimpin." begitu pikir Zayden.

Sontak, manik mata Kenzo melihat ke kaca belakang, lantas di sambut oleh tatapan mata dari Galen. Datar, namun memiliki pemikiran yang liar, begitulah gambaran ekspresi dari Galen saat ini.

"Kita sedikit lagi sampai!" Kenzo lantas memberi sinyal pada Tamara dan Victoria.

Tanpa ragu Zayden mengikuti mobil yang berada di depan mereka. Selain lajunya yang seperti ingin menghalangi perjalanan, kami pun lantas mengikuti rencananya yang hendak menuntun kami. Namun, tatkala tiba di persimpangan, yang seharusnya kami lurus ke depan, Zayden membelokkan kemudinya. Meninggalkan mobil pemimpin yang sudah melaju menyebrang, lalu mobil kami pun akhirnya memimpin dua mobil yang di belakang.

Dan layaknya seorang pemimpin, kami membawa semua orang pada titik awal, di mana sebuah sifat benda hidup dan mati seperti sulit dibedakan. Sebuah jembatan penyebrangan kami lewati, hingga mobil kami berhenti di sini. Ketika hendak memainkan sebuah permainan, tentu harus ada persiapan, barulah pada saat itu kami siap untuk memulai peperangan. Sontak, kami semua turun dalam mobil.

"Ck! Sial!!" gerutu seseorang, yang baru datang dari mobil yang tadinya memimpin jalan.

Sang pemilik permainan, pada akhirnya mengikuti kami yang telah menciptakan peraturan.

"Berani sekali kamu," kataku padanya.

Dengan rasa sakit yang menyarang di tubuh, aku memasang badan siap untuk melawan Aryan.

"Kamu yang terlalu berani! Kenapa sulit sekali menyentuhmu?" Aryan pun dibuat heran.

Lantas tanpa aba-aba, beberapa orang bawaan Aryan turun dari tiga mobil yang mengikuti kami tadi. Jelas, itu memang orang yang dibawa langsung oleh Aryan Reish. Tapi itu tidak membuat kami berempat gentar.

"Jika tahu begitu kenapa malah terburu-buru?" tanyaku tanpa gentar.

"Apa kamu tahu, di mana kami berada?" tanyaku setelahnya.

"Gak tahu, dan gak mau tahu. Karena pada akhirnya kita semua adalah sampah!!" gertak Aryan.

Ya, sesuai dengan jawaban dari Aryan. Kami semua memang berada di atas lautan sampah, di bawah jembatan tempat kami berhenti saat ini. Sebuah sungai mengalir di bawahnya, membawa berbagai jenis sampah yang mengalir hingga berhenti di atas jembatan. Jalan ini menghubungkan dua kota, yang terbelah karena aliran sungai.

Tapi jalan ini jarang dilalui banyak orang, hingga rasanya tepat untuk dijadikan tempat sebuah permainan.

"Jangan salah paham, bukan kita karena itu hanya berlaku untukmu!!" kataku menggertak balik.

BlindFoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang