#43 Sebab Perubahan

6 1 0
                                    

Selamat membaca

*
*

Seseorang yang sering bermain, tentu akan tahu bagaimana cara menaklukan sebuah permainan. Ketika kecurangan dibalas kecurangan, begitu pun dengan tembakan yang mengenai dada. Saat kondisi menegangkan, serta saling mengarahkan senjata laras pendek. Dari kejauhan, titik-titik merah memancar, yang tentunya mengarah pada sang lawan, dan hanya mengarah kepada Aryan.

Di balik jembatan yang minim penerangan, ada banyak orang yang kami datangkan, untuk bersiaga mengincar lawan. Dan itu, mungkin tidak pernah terbayangkan bagi Aryan.

"Sial!!" gertaknya kesal.

Kesenangannya dibuat terhenti, karena kami lebih siap, serta menyiapkan berbagai siasat. Drama tentang peluru yang menusuk didadaku, hanyalah akting belaka sebab ada pelindung anti peluru di tubuhku. Mungkin bagi Galen, sangat mudah untuk berpura-pura kehilangan, sebab sudah sering merasakannya.

"Aku benci situasi ini," tapi Galen sangat membenci hal itu.

Di saat yang bersamaan, aku bangkit dari pertahanan yang Galen berikan. Terjatuh di situasi yang menegangkan, membuatku dapat melihat bagaimana sang lawan senang walau sesaat.

"Kenapa kalian hanya diam saja!!" Aryan berteriak pada beberapa orang yang Aryan bawa.

Tapi bukankah wajar, tatkala sang pemberi perintah sedang di situasi yang tidak menguntungkan, sang bawahan pun tidak mau mengambil resiko yang besar. Maka, di sini aku yang akan mengambil langkah besar. Aku sedikit berjalan, mendekat dengan Aryan. Walau pergerakannya berhenti, serta sang bawahan tidak mungkin diam saja. Dengan cepat, Zayden dan Kenzo ikut maju berjalan bersamaku, sembari bersiaga dengan senjatanya.

Berbeda dengan Galen, sang adik yang masih tidak terima dengan cara penyelesaian ini. Langkahku telah berada tidak jauh dari Aryan, karena aku pun tidak mau terlalu lebih dekat dengannya. Tatapan dalamku, di sambut tatapan tajam serta wajah yang mengeras dari Aryan.

"Sudahku bilang kan, kenapa kamu terburu-buru? Seharusnya rasakan dulu, bagaimana rasanya berada di ambang kematian." aku hendak memprovokasinya.

"Apa kamu pikir di saat seperti ini aku bisa santai? Berpikir logis saja gak mungkin!!!" Aryan menggertak kencang.

"Maka coba tenang dulu. Jangan hanya memikirkan dirimu sendiri!!" aku pun ikut menggertak.

"Pikirkan orang disekitarmu..." suaraku sedikit merendah.

"Orang disekitarku? Siapa? Mereka semua telah berkhianat!! Gak ada siapapun di sisiku!" terlihat, Aryan semakin kesal.

"Benar begitu?" lantas aku pun tidak kalah kesal.

"Lantas apa artinya Qiara bagimu? Seorang anak yang kamu besarkan, dengan didikan untuk selalu menghargai kerja keras orang. Lantas apa artinya dia bagimu!" entah kenapa aku lebih kesal tentang ini.

"Jadi kamu perduli pada anakku? Anak yang gak tahu diri itu? Yak, kamu telah merebutnya dariku! Itu karenamu. Karena itu, Qiara selalu mengutarakan pemikirannya dari perasaanya. Kamu telah merubah pola didikku kepadanya!!" Aryan malah menyalahkan aku.

Mendengar hal itu, aku dibuat tidak bisa diam. Karena mendengarkannya saja cukup menyakitkan bagiku, hingga aku tidak bisa menahannya.

"Kamu gak pantas menjadi orang tua!!" kataku penuh penekanan.

"Apa katamu?" ulang Aryan seperti tidak mendengar.

Bukannya berpikir, Aryan malah tertawa kencang. Kehidupan yang keras ini mungkin membuat seseorang tidak bisa berpikir logis, saat keadaan dan situasi telah mendorongnya untuk berusaha keras melalui apa yang terjadi dengan cara apapun. Tapi, apakah itu tetap bisa dibenarkan?

BlindFoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang