#8 Siapa Yang Salah?

7 1 0
                                    

Selamat membaca

*
*

Waktu akan menyembuhkan segalanya. Terdengar seperti kebohongan, karena waktu malah membuat rumit segalanya. Suara sendok dan garpu yang bertemu, membuat perasaan menjadi ragu, namun takut untuk mengadu. Tapi diam tidak memberi pilihan, jika semua orang mengabaikannya.

"Ibu ada apa?" dan hanya aku yang berani bertanya.

Suasana berubah menjadi canggung, ketika semua orang menghentikkan aktivitasnya.

"Yak! Kenapa nanya," bisik Galen, tidak jadi makan dan memilih untuk minum.

"Aku butuh penjelasan!" kataku, pada Galen yang duduk di samping aku.

Kegiatan makan siang bersama yang jarang terjadi, di tambah lagi dengan suasana hati ibu yang masih jadi misteri.

"Ya, bener! Ibu, sebenernya ada apa? Apa kami berbuat salah?" kini Galen merasa setuju, hingga Galen langsung mencecar banyak pertanyaan.

Melanjutkan makan di tengah banyak pertanyaan, membuat ibu tidak nyaman, hingga ibu menghentikkan aktivitasnya. Namun, suara sendok yang di taro ibu membuat aku terkejut, juga membuat Galen bergidik takut. Karena ibu menaruh sendok makannya dengan sangat kasar, lalu mengarahkan tatapan tajam kepada kami berdua.

"Ibu, kalo ini soal nikah, bukannya aku gak siap. Tapi, aku gak mau melewati urutan," kata Galen, menyela pembicaraan.

"Apa maksudmu?" tapi aku tidak mengerti.

"Kamu kaka, dan aku adik. Seharusnya kamu yang nikah lebih dulu, bukan aku. Usia kita jelas beda tiga tahun!!" jelas Galen, terdengar sangat tidak adil.

Saat itu aku ingin sekali mengumpat, tapi sayangnya ada ibu di sini, sehingga aku tidak bisa bersikap kasar kepada anak kesayangannya ini.

"Kenapa? Omongan aku ini bener kan!" kekeh Galen, pada pendapatnya.

"Kamu pikir, ini yang ibu mau?" kataku, memelankan suara.

"Lalu apa lagi?" cecar Galen.

"Maka dari itu, sekarang ini kita lagi nanya," aku berusaha menahan amarah.

"Tapi ibu diam aja, gimana kita tahu kala–" belum selesai dengan ucapannya, Galen dibuat salah fokus ketika melihat wajah sang ibu.

Sedari tadi aku memusatkan perhatianku pada Galen, hingga aku  pun turut melihat wajah ibu. Warna merah menyelimuti wajah cantiknya, hidungnya kembang-kempis, manik matanya terbelelak penuh, lalu deru nafasnya tidak beraturan.

"Ibu," aku langsung ingin menghentikkannya.

"Kalian bertanya apa yang ibu permasalahkan atau apa ibu inginkan?" ulang ibu.

"Tapi gak bisakah kita makan dengan tenang?" pinta ibu setelahnya.

"Tentu saja!!" kataku dan Galen dengan serempak.

Kami lantas melanjutkan aktivitas kami yaitu makan, guna mencairkan suasana tegangnya.

"Oh.. masakan ibu selalu enak. Benarkan?" Galen bertanya yang tidak perlu.

"Em, cuma masakan ibu yang selalu aku rindu." aku pun, mau tidak mau menimpalinya.

"Liat ikan ini?" tunjuk Galen, pada seekor ikan yang sangat besar.

"Ukurannya sangat besar kan? Itu kayak kasih sayang ibu ke kita," analogi Galen, membuat aku mematung bingung.

"Kamu gak setuju Andra?" tapi Galen lagi-lagi membuatku tidak berdaya.

"Kamu bener!! Kasih sayang seorang ibu itu sangatlah besar!" timpalku dengan sangat terpaksa.

"Ya kan.." kata Galen sembari tertawa, dan aku pun ikut tertawa.

BlindFoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang