#44 Waktu Yang Salah

7 1 0
                                    

Selamat membaca

*
*

Zayden terus berteriak, namun Galen tidak kunjung sadar dengan posisi kepala memandang lurus ke depan dengan tatapan mata yang kosong. Kondisiku yang semakin parah, membuat aku beberapa kali hilang kesadaran. Tangan kiriku seperti mati rasa, akibat peluru yang sedang menyarang dalam, lantas aku gunakan tangan kananku. Perlahan tanganku meraba wajah Galen, lalu menepuknya pelam.

Tepukanku membuat Galen sadar, walau harus dilanda kebingungan. Aku lantas menuntunnya, dengan menggerakkan kepalanya melalui tanganku untuk melihat ke arahku. Hanya wajah datar dengan penuh keyakinan yang aku lihatkan kepadanya. Karena aku yakin, Galen sedang terbawa suasana dimana Galen tidak bisa mengendalikan dirinya.

"Ayo pergi dulu.." kataku pada padanya.

Situasi yang tidak mungkin untuk berdiam lama di sini, sebab ada tembakan dimana-mana dengan pertarungan beberapa orang.

"Lewat sini!" tunjuk Kenzo.

"Cepat!!" gertak Kenzo.

"Galenn!!! cepat!!" Zayden tidak henti-hentinya berteriak.

Zayden dan Kenzo langsung menuntun aku dan Galen untuk segera pergi, dengan membawa mobil yang dilengkapi dengan keamanan anti peluru. Aku kembali bersandar di pundak Galen, dengan luka yang bertambah bahkan lebih parah dari sebelumnya.

"Maafin aku ka..." Galen pun melirih penuh penyesalan.

Tapi pada saat ini, aku tidak mau larut dalam kesedihan.

"Kemana dia pergi?" tanyaku pada Zayden.

Sebab, di bangku belakang ini kami duduk bertiga dengan Zayden, sedangkan Kenzo duduk di depan sebagai pengendali kemudi.

"Apa maksudmu, kita harus ke rumah sakit dulu!" sambar Galen.

"Aku gak punya waktu lagi," kataku.

"Tapi lukamu harus diobati dulu!" tekan Galen kesal.

"Biarkan Zayden yang mengobatiku di sini, jadi cepat cari dia." begitu perintahku.

"Kenapa kamu selalu terburu-buru!!!" gertak Galen kesal.

"Karena aku memang gak punya waktu, jadi berhenti mengeluh!" aku pun langsung membungkamnya.

"Percayakan ini padaku," dengan kembali meyakinkan Galen.

Selalu dibatasi gerakan sekaligus ucapannya, membuat Galen tidak bisa berbuat banyak selain percayakan semuanya kepada sang kaka. Zayden yang sudah terbiasa di bidang kodekteran pun, langsung memberikan pertolongan pertama kepadaku, dimulai dari mengangkat rasa sakit yang bersemayam. Sebuah peluru kecil masuk terlalu dalam di lenganku, lantas dengan peralatan seadaanya, Zayden mulai mengeluarkannya.

Rasa sakit jadi semakin terasa tatkala ada sebuah alat masuk untuk mengambil sang sumber rasa sakit. Aku sedikit menjerit di dalam batin, dengan kepala yang masih bersandar kepada Galen, genggaman erat yang diberikannya seperti menjadi penguat bagiku.

"Aa–" walau aku sempat tidak sanggup menahannya.

Aku meringis kesakitan, tanpa ada ekspresi sedikit pun yang aku sembunyikan.

BlindFoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang