Saat paru-parunya terasa panas, Pharita mencoba untuk beristirahat di salah satu taman pada sore hari.
Setelah insiden keributan dengan Chiquita, Pharita mencoba untuk menenangkan diri. Tapi, kegelisahannya terus bertambah ketika dia berdiam diri di kamar. Jadi, dia memutuskan untuk berlari meski dia menyadari bahwa tubuhnya sedang tidak baik-baik saja.
Untungnya, Pharita juga membawa perlengkapan yang cocok untuk berlari dan disinilah dia berada. Di taman setelah berlari cukup jauh. Dia dengan ceroboh pergi tanpa membawa obat dan ponselnya namun untungnya, dia membawa dompetnya jika dia memang butuh membeli sesuatu.
Pharita merasakan tangannya mulai dingin dan dia sedikit kesulitan untuk meraih nafasnya. Tapi dia berusaha untuk tenang. Berulang kali, Pharita mengatur nafasnya.
Udara cukup dingin saat ini dan Pharita semakin kesulitan untuk bernafas. Tapi pikirannya terlalu berantakan hingga dia tidak mempedulikan semua rasa sakit itu dan terus berlari lagi.
Keringat menetes di setiap tubuhnya. Sekali lagi, Pharita tidak peduli jika jantungnya berdegup terlalu kencang dan nafasnya memburu. Dia hanya perlu menyingkirkan apa yang ada di pikirannya dan ketika pikirannya terfokus pada rasa sakit di tubuhnya, dia merasa puas.
Berulang kali dia seperti itu. Ketika pikiran lain mulai muncul lagi, dia berlari lagi. Ketika dia mulai merasakan sakit, dia berhenti. Dia sekarang tengah menikmati rasa sakitnya.
"Unnie! Unnie!"
Teriakan yang sangat dia kenal terdengar di belakang dan Pharita berhenti berlari untuk melihat Ahyeon berlari ke arahnya dengan wajah yang panik.
"Unnie! Wajahmu pucat sekali!"
"Ahyeon, kenapa kau ada disini?" Tanya Pharita, terengah-engah dan akhirnya mencoba untuk meraih tangan Ahyeon.
"Unnie! Tanganmu dingin sekali! Kenapa kau nekat berlari sejauh ini? A-aku... Ayo kita duduk dulu." Ujar Ahyeon sambil menuntun Pharita ke tempat duduk. "Minumlah."
"Terima kasih." Kata Pharita. Ketika dia meneguk air mineral itu, dia baru menyadari betapa hausnya dia karena sepanjang sore, dia berlari tanpa henti.
Kakinya juga sudah terasa sakit dan panas tapi Pharita hanya ingin terus melakukan ini. Katakanlah jika dia tidak peduli dengan kesehatannya sendiri karena memang begitulah adanya.
"Unnie, ayo kita kembali ke hotel. Kau sangat pucat dan tanganmu dingin sekali. Apa kau bisa bernafas dengan baik, unnie?" Tanya Ahyeon masih terlihat khawatir.
Pharita menggelengkan kepalanya. "Sakit."
Untuk pertama kalinya, Pharita mengakui rasa sakit itu karena memang rasa sakit itu menusuk dadanya begitu tajam. Jika semalam Pharita masih berhasil mengabaikannya bahkan pagi ini, sekarang tidak lagi.
"Ayo kita pergi ke Rumah Sakit, unnie. Kau tidak terlihat baik-baik saja. Aku sangat takut melihatmu seperti ini." Ujar Ahyeon yang jelas panik.
"Bisakah... Kau bawakan obat di hotel? Sepertinya ada di salah satu kantong bajuku." Ujar Pharita meminta.
"Lebih baik kita kembali hotel bersama." Kata Ahyeon menyarankan tapi Pharita menggelengkan kepalanya.
"Aku sedang tidak mau berada di hotel, di kamar atau di sekitar tempat itu. Bisakah... Kau ambilkan saja obatku?" Pinta Pharita dan jelas, Ahyeon ragu-ragu meninggalkan Pharita sendirian ketika dia melihat keadaan Pharita itu jauh dari kata baik.
"Unnie..."
"Aku mohon, Ahyeon..." Pharita memohon dan dengan terpaksa, Ahyeon menganggukkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The flower ✅
FanfictionTerabaikan karena memiliki kakak yang sangat sibuk, Chiquita menempatkan dirinya menjadi sosok gadis yang pendiam. Cenderung menahan semuanya sendirian hingga keadaan tiba-tiba saja berubah. "Aku merindukan kita yang dulu, unnie, bisakah kita kemba...