BAB 52

470 84 57
                                    

Tangan itu dingin.

Itu adalah hal pertama yang Yejin rasakan ketika dia berusaha menggenggam tangannya. Wajahnya pucat, tidak ada lagi tanda kehidupan di wajah yang biasanya tersenyum itu.

Ada sedikit senyum di wajahnya yang pucat tapi itu bukan senyum yang Yejin inginkan. Itu bukanlah sesuatu yang Yejin harapkan.

“Pharita...” Gumam Yejin. Tangan yang bergetar itu berusaha memberanikan diri untuk menyentuh wajahnya. “Nak, sayangku... tolong bangun...”

Pharita tidak menjawab, Pharita tidak mendengarkannya. Pharita tidak membuka mata atau tersenyum padanya. Dia tidak melakukan itu.

“Sayang, bangun. Jangan buat eomma takut, nak. Tolong bangun.” Pinta Yejin. Pikirannya terguncang dan dia mencengkram rahang Pharita dengan erat.

Seharusnya Pharita meringis bukan, bicara tentang apapun. Demi Tuhan, Chiquita baru saja selesai operasi dan Pharita harus ada di sana.

Harus.

“Apakah kau sungguh melakukan ini padaku? Kenapa Pharita? Apakah karena ucapanku tempo hari yang mengatakan...”

Yejin terdiam, menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin dia memikirkan ingatan yang mengerikan ketika dia mengatakan bahwa dia lebih berharap Pharita yang mati.

Dia tidak serius. Tapi... hal itu terjadi tepat di depan matanya. Sekarang, Yejin merasa begitu tercekik, dia tidak bisa bernafas.

Sebuah tangan terasa di pundaknya dan dia berharap Pharita-lah yang menyentuhnya. Tapi tentu saja, itu dokter Park yang menunggunya sejak tadi.

“Ini bukan salahmu, Yejin. Ini adalah keputusannya sendiri.” Kata dokter Park, yang matanya sendiri berkaca-kaca.

Merasakan hatinya patah melihat seorang ibu yang terlalu terkejut melihat seorang putri yang kini telah tergeletak sebagai mayat di ruang jenazah.

“Dokter Park,” Bisik Yejin, mencengkram tangan dingin Pharita dengan erat. “Tolong katakan padaku bahwa ini hanyalah mimpi. Ini... tidak mungkin kan? Dia... dia... dia tidak mungkin meninggalkan keluarganya. Katakan ini hanyalah candaan yang sama sekali tidak lucu.”

Namun, dokter Park tidak menjawab. Tangan dokter itu hanya melingkari tubuh Yejin yang masih begitu terkejut.

“Maafkan aku, Yejin.” Kata dokter Park, mengusap punggung ibu dari dua anak itu. “Maaf, aku benar-benar berusaha untuk menghentikannya. Tapi dia tidak bisa...”

“A-apa alasannya?” Tanya Yejin, suaranya nyaris berbisik.

Belum ada air mata yang jatuh ke pipinya. Yejin terlampau terkejut hingga dia tidak bisa menangis, satu tangannya tetap menggenggam tangan Pharita begitu erat.

“Dia tidak sanggup melihat adiknya begitu kesakitan, melihat ibu dan ayahnya sangat bersedih. Dia kesulitan melihat semua kesedihan yang terjadi di rumah kalian.”

Yejin menggelengkan kepalanya. Sepertinya, sesuatu yang mencekik lehernya terasa begitu erat hingga dia sulit untuk bernafas.

Dokter Park melepaskan pelukannya dan Yejin kembali berbalik, menghadap Pharita yang masih memejamkan matanya.

Yejin secara brutal menciumi pipi dan kening Pharita, menyadari bahwa dia tidak pernah lagi melakukan itu sejak Pharita tumbuh remaja.

Ya Tuhan, dadanya sakit sekali.

“Maafkan eomma, sayang. Maaf tidak memperhatikanmu, maafkan eomma...” Bisik Yejin.

Apakah Pharita memaafkan semua perlakuannya? Ya Tuhan, dia berharap dia akan mendapatkan jawabannya.

The flower ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang