Orang bilang, akan ada kebahagiaan di balik semua kesedihan yang di alami oleh seseorang.
Sepertinya, kalimat itu pernah Chiquita dengar dan bahkan dia pernah menggunakan kalimat itu pada Ahyeon ketika suatu hari sahabatnya itu sedang bersedih.
Tapi, apakah sebenarnya Chiquita mempercayai kalimat itu? Tidak, tidak sama sekali.
Karena hari demi hari terlewati oleh Chiquita tapi apa? Dia tidak pernah merasakan kebahagiaan itu. Tidak, sebaliknya, dia merasa semakin rapuh dan kehidupannya terasa semakin gelap.
Sepertinya, kebahagiaan telah di renggut sepenuhnya dari kehidupannya saat ini. Tidak ada yang bisa di harapkan.
Semua orang berusaha berbicara dengannya akan tetapi, tidak ada yang ingin Chiquita ajak bicara.
Kehidupannya kembali normal? Tidak, bukan ini hidup normal yang Chiquita inginkan. Ini sama sekali tidak normal.
Chiquita berdiri di balkon rumahnya, memegangi dadanya sendiri, merasakan jantungnya berdegup dengan kuat, menandakan adanya kehidupan di sana.
Kehidupan atas pengorbanan kakaknya.
Ingatan itu menimbulkan rasa sakit yang mendalam di hatinya. Seberapa keras dia berusaha untuk menerima, ini terlalu sulit untuk dia terima.
Sulit menerima kenyataan bahwa Pharita telah tiada.
“Unnie,” Gumam Chiquita, matanya melayang ke langit-langit yang gelap.
Dalam hati, Chiquita percaya bahwa Pharita ada di suatu tempat yang lebih baik, memperhatikan dirinya yang sedang bersedih saat ini.
“Unnie, apakah kau kecewa karena aku banyak menangis saat ini?” Tanya Chiquita, entah pada siapa. Berharap kakaknya bisa mendengar. “Kau selalu benci melihatku menangis, bukan?”
Air mata jatuh perlahan ke pipinya, dan itu adalah hal yang sangat normal karena Chiquita selalu seperti itu sejak dia pulang dari pemakaman Pharita.
Sedang berdiam diri, tiba-tiba menangis dan kemudian tertidur karena kelelahan dengan tangis yang mencekik.
“Kau biasanya menghapus air mataku, kau memelukku, kau selalu membisikkan kata-kata yang menenangkan.” Bisik Chiquita. “Aku ingin merasakannya lagi, unnie.”
Tidak ada kehangatan. Sebaliknya, Chiquita merasakan tulang terasa dingin karena angin yang berhembus saat ini.
Chiquita jatuh di lantai, menarik lutut ke dadanya, memeluk dirinya sendiri, membentuk tubuhnya seperti janin di dalam rahim.
Tak peduli tubuhnya kedinginan, Chiquita akan terus berada di balkon, bicara dan menangis sampai Pharita memeluknya dari belakang, memberinya kehangatan, seperti yang selalu kakaknya berikan padanya.
“Aku kesepian, unnie. Aku sangat kedinginan. Aku... sangat membutuhkanmu saat ini. Aku ingin kau memelukku. Aku butuh bisikan penguat yang sering kau lakukan padaku. Aku sangat ingin kau kembali padaku.”
Tangisan itu terasa sangat mencekik, begitu sakit. Sekarang, seluruh tubuhnya sakit.
Sakit yang Chiquita ketahui tidak akan ada obatnya. Sakit yang tidak bisa dia ucapkan secara lantang karena Chiquita tahu, hanya ada satu orang yang bisa menyembuhkannya.
Sayangnya, satu-satunya orang yang bisa menyembuhkan perasaannya itu telah tertimbun tanah.
“Unnie,” Isak Chiquita, memeluk lututnya lebih erat ke dadanya. “Apakah kau bahagia di sana? Atau... apakah kau merasakan hal yang sama denganku? Kedinginan? Kesepian? Karena jika kau merasakan itu, aku rela menemanimu, unnie. Aku sangat rela.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The flower ✅
FanfictionTerabaikan karena memiliki kakak yang sangat sibuk, Chiquita menempatkan dirinya menjadi sosok gadis yang pendiam. Cenderung menahan semuanya sendirian hingga keadaan tiba-tiba saja berubah. "Aku merindukan kita yang dulu, unnie, bisakah kita kemba...