Cuaca mulai dingin dan Pharita sangat membencinya. Meskipun dia tidak memiliki kegiatan diluar rumah karena ayahnya mengizinkan dia bekerja dari rumah, tetap saja Pharita benci cuaca dingin.
Itu membuatnya merasa tersiksa, entahlah. Pharita hanya tidak suka saja. Sejak kecil setiap cuaca berubah dingin, Pharita sering sekali meringkuk di balik selimut.
Sementara adiknya? Sebaliknya.
Chiquita adalah gadis yang selalu bersemangat dalam hal apapun termasuk menyambut musim dingin. Jadi, meskipun tampak lemah di balik masker oksigen yang masih harus di kenakannya, serta selimut tebal yang menutupi tubuhnya, adiknya itu menatap Pharita dengan pandangan memohon.
“Unnie, hanya ke taman saja. Ayolah, temani aku.” Pinta Chiquita, tidak henti dia mengatakan itu meskipun Pharita terus menolaknya.
Pharita menolak bukan hanya karena dia memang benci dengan udara dingin. Akan tetapi, dia khawatir jika udara dingin akan membuat adiknya bertambah sakit.
Sudah cukup Pharita merasa tersiksa dan menangis hampir setiap malam, menatap adiknya terus terbaring selama lebih dari satu bulan dengan nafas sesak di tempat tidur.
Pharita tidak mau mengambil resiko lebih jauh lagi.
“Sayang, udaranya sangat dingin. Dan lihat? Tanganmu semakin dingin. Unnie tidak mau kau malah sakit.” Kata Pharita sambil menggenggam tangan adiknya.
“Terkena udara dingin atau tidak, aku adalah gadis penyakitan saat ini.” Balas Chiquita tanpa berpikir dua kali.
Pharita tertegun. Dia terluka setiap Chiquita menyinggung tentang sakit apalagi sampai mengucap kematian. Faktanya, sudah sebulan ini Pharita mendengar hal-hal menyakitkan seperti itu dari adiknya.
Tampaknya, adiknya itu tidak berhenti mengucapkan hal yang menakutkan. Hingga terkadang, Pharita lelah untuk mendengarnya.
“Kau bukan gadis yang penyakitan, Chiquita. Kau akan sembuh suatu saat nanti. Lihatlah? Kau masih bertahan di sini, bersamaku.” Kata Pharita.
“Apa bedanya? Aku di sini, tapi hanya berbaring di tempat tidur. Aku sudah tidak punya kehidupan, unnie.” Kata Chiquita. Tanggapannya terdengar lebih sensitif dari yang Pharita bayangkan.
Tetapi, Pharita berusaha untuk tidak tersinggung dan mempertahankan ketenangannya, seperti yang selalu dia lakukan setiap Chiquita memikirkan hal buruk tentang kondisinya.
“Belum, tapi kau akan menjalani kehidupan, jika kau sudah sembuh nanti. Kau hanya perlu bersabar, sayang.” Kata Pharita.
“Itu jika aku memang akan sembuh.” Kata Chiquita datar seolah dia bosan mendengar kalimat yang sama setiap harinya.
Pharita hanya menghela nafas, tidak tahu apa yang harus dia katakan lagi karena tampaknya, Chiquita tidak pernah mau mendengarnya.
“Baiklah. Aku sudah selesai bicara denganmu. Lebih baik kau tidur saja.” Kata Pharita, lelah.
“Bagaimana dengan pergi ke tamannya?” Tanya Chiquita, mendelik mata kesal dengan tanggapan itu.
“Aku akan bicara dengan eomma.” Kata Pharita.
Chiquita melotot, jelas tidak ingin pergi dengan ibunya. Tapi Pharita tidak mau mengambil keputusan ceroboh dengan membawa Chiquita pergi begitu saja.
Lagipula, dia lebih suka berada di rumah di bandingkan harus pergi ke taman dan menyambut udara dingin.
“Kau terlalu kasar pada seseorang yang sedang menyambut kematiannya sendiri, tahu?” Gerutu Chiquita, menatap kakaknya dengan pandangan tajam.
“Bisakah kau berhenti mengatakan hal itu? Aku lelah mendengarnya. Kau berkata seolah kata-kata itu tidak pernah menyakiti siapapun.” Pharita balas menatapnya dengan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The flower ✅
FanfictionTerabaikan karena memiliki kakak yang sangat sibuk, Chiquita menempatkan dirinya menjadi sosok gadis yang pendiam. Cenderung menahan semuanya sendirian hingga keadaan tiba-tiba saja berubah. "Aku merindukan kita yang dulu, unnie, bisakah kita kemba...