BAB 23

578 77 17
                                    

Pintu toilet dibuka dan Pharita yang memiliki nafas terengah-engah dengan cepat memeluk Ahyeon dari belakang. Ahyeon memberontak, tentu saja.

Sebagai gadis yang sedang kesulitan dengan pernafasannya, Pharita mencoba sekuat tenaga untuk memeluk Ahyeon. Tangannya terulur dan dia mencoba untuk mengambil pisau kecil yang di pegang Ahyeon.

Pharita tidak tahu darimana Ahyeon mendapatkannya. Tapi, Pharita sendiri kesulitan untuk meraih pisau itu dari tangan Ahyeon. Sejujurnya, tenaga Ahyeon jauh lebih besar di bandingkan dirinya. 

“Canny! Jangan hanya melihat! Pergi dan panggil perawat!” Teriak Pharita pada Chiquita yang tampaknya masih terkejut dengan kehadiran kakaknya yang tiba-tiba. Tapi sedetik kemudian, dia pergi dari hadapan Pharita.

Sebelumnya, Pharita sedang tertidur. Dia mulanya hanya berbaring dengan tenang ketika dia bangun tanpa melihat adiknya. Sampai kemudian dia ingat, Chiquita tidak akan pergi dari ruangannya kecuali ada sesuatu yang mendesak. 

Dia juga teringat ketika dia menceritakan tentang keadaan Ahyeon. Seketika itu juga, Pharita merasa panik dan bergegas ke ruangan Ahyeon. 

Benar saja dugaannya. Adiknya berada dalam ancaman Ahyeon yang jelas tidak akan menyadari sikapnya. Seandainya dia datang terlambat, Pharita tidak tahu apa yang akan terjadi pada adiknya itu. 

Pharita mendesis saat dia merasakan pisau menekan kulitnya. Tapi, Pharita tidak melepaskan dan tetap berusaha menarik pisau itu dari tangan Ahyeon, tak peduli jika tangan itu semakin menekan telapak tangannya.

“Hei, unnie disini. Tolong lihat aku. Ini aku, Pharita. Kita bicara dengan tenang tadi pagi sampai siang, ingat? Tolong lihat aku, Ahyeon.” Pinta Pharita.

Dia menoleh ke belakang, bertanya-tanya kapan perawat datang karena tangannya sudah sangat kesakitan.

“Tidak! Dia menertawakan aku! Lepaskan aku! Aku harus melakukan sesuatu!” Ahyeon menjerit sekuat tenaga.

“Jika kau terus bergerak seperti itu, kau menyakitiku, Ahyeon. Bukankah kau menyayangiku? Lihat, tanganku berdarah.” Bisik Pharita.

Secara ajaib, Ahyeon berhenti dan dia menjerit. Dengan panik, Ahyeon meraih Pharita ke wastafel dan mencuci tangan Pharita. Tapi, darah itu terus mengalir. Ahyeon menggosok tangan Pharita dan sekarang, Pharita mendesis kesakitan lagi.

Air mata jatuh ke pipi Ahyeon dengan deras. Tangan Ahyeon bergetar, matanya tidak fokus. Dia tampak ketakutan.

“Tidak, tidak, tidak. Aku tidak menyakiti siapapun. Aku anak baik, aku anak baik. Aku adalah anak yang baik!” Jerit Ahyeon tampak frustasi karena darah tidak berhenti mengalir dari telapak tangan Pharita.

“Kau anak yang baik. Aku tahu itu. Kita semua tahu itu. Sekarang, hentikan dan buang pisau itu lalu kita kembali ke tempat tidur, ya?” Pharita berusaha membujuk. 

Ahyeon menganggukkan kepalanya. Air mata masih berjatuhan. Tangan Ahyeon yang lain terus memukul kepalanya, mengusir bisikan jahat yang terus terngiang.

Perawat dan juga Chiquita masuk saat itu. Pharita mengulurkan tangan, menahan mereka untuk mendekat.

“Aku menyimpan beberapa pisau lain di bantal yang aku robek dan aku jahit ulang.” Gumam Ahyeon sambil memeluk Pharita.

“Bagus. Kalau begitu, biarkan aku mengambil bantal itu dan perawat akan mengganti bantal yang lebih nyaman untukmu, oke?”

Ahyeon mengangguk dan Chiquita hanya bisa menatap kakaknya yang berhasil menenangkan Ahyeon. Tidak dapat di sangkal, Pharita jelas adalah satu-satunya orang yang Ahyeon percayai saat ini. 

The flower ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang