>○<
Faye menatap ibundanya yang mengerutkan kening setelah Yoko menghilang dari hadapan mereka berdua. Wanita senja yang masih saja tampak cantik meski kulitnya sudah tak sekencang dulu itu mengerutkan kening tanda heran, "Ada apa?" wanita cantik itu berseru pelan pada Faye yang tengah mengunyah.
Dengan acuh, Faye mengangkat bahu "Entah" ia kemudian mengambil porsi makan milik Yoko dan menyantapnya dengan lahap.
Seolah tak percaya pada putrinya, wanita senja itu mendekat "Bertengkar?"
Lagi, Faye mengangkat bahu secara acuh "Maklum, masih bocah"
"Yang bocah di sini kamu atau dia?"
"Dia" jawab Faye cepat.
Wanita cantik itu tersenyum "Kalau yang bocah di antara kalian itu dia, Kenapa kamu nggak bersikap selayaknya orang dewasa?"
Kening Faye mengkerut saat mendengar itu dari ibundanya "Maksud mama?" ia melipat tangannya di dada dengan sumpit yang masih ia pegang di antara jemarinya yang panjang.
Ibunda Faye tersenyum kecil "Kalau yang bocah di antara kalian berdua itu dia, kenapa kamu yang bersikap egois dan nggak mencoba mengerti tentang apa yang dia mau?"
Faye menghela napas berat "Aku pusing memikirkan bocah yang negatif thingking, menuduh-nuduh tanpa sebab dan mengira-ngira banyak hal yang sebenernya nggak terjadi" wanita cantik itu mulai meletakkan sumpitnya sebelum kemudian menengadah guna menahan rambutnya agar itu tak jatuh.
"Apa api bisa kalah dengan api?"
Faye bisa mellihat iris mata milik ibundanya menatap wanita cantik itu dalam-dalam, seolah tengah menyentuh isi hati Faye yang sekeras batu dengan tatapannya yang tampak lembut namun begitu menusuk "Kamu dengan dia sedang sama-sama emosi dan mengambil keputusan saat emosi adalah sesuatu hal yang sangat buruk. Usia kamu sudah tak muda lagi, harusnya kamu tahu kalau hati tidak bisa mengambil keputusan baik ketika kamu sedang marah. Makanya, di saat-saat seperti itu, kamu harus menggunakan logika kamu untuk berpikir atas resiko yang hati kamu inginkan" wanita cantik itu mendekat dan mengusap kepala putrinya perlahan.
"Yoko itu masih muda, ia masih memiliki banyak keinginan. Gadis itu ingin merasakan bebasnya kehidupan tanpa kekangan, berbaur dengan banyak orang, dan menentukan kehidupannya sendiri" ia menarik napas sekejap seraya mengusap punggung Faye yang masih keras dan menentang.
"Saat kamu di usia yang sama dengan Yoko, apa kamu pernah mendengarkan sedikit saja saran yang mama berikan?" ia menjeda ucapannya sejenak "Kamu nggak pernah mau di kekang, nggak pernah mau di atur, nggak pernah mendengarkan dan kamu bahkan nggak peduli dengan keadaan sekitar. Apa kamu pikir kalau Yoko nggak berpikiran serupa sekarang?"
Ah.. sial.
Ibundanya benar.
Kenapa pula ia bertingkah kekanakan sekarang?
Kalau saja Faye berada di posisi Yoko, ia juga pasti akan melakukan hal yang sama. Mengingat mereka sudah berhubungan selama tiga bulan lamanya, harusnya sudah tak ada lagi rahasia di antara mereka. Tapi.. Faye justru bertingkah seperti ini?
Pantas Yoko tak tahan.
Wanita cantik itu bergerak pelan ketika mengurut keningnya yang tiba-tiba terasa pusing. Sudah terlambat. Hubungannya dengan Yoko sudah hancur sekarang dan Faye adalah penyebabnya.
Untuk apa menyesal? Tak ada gunanya kan?
Jadi.. Harus apa ia sekarang?
>○○○○○<
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eldest One [FayeXYoko]
Fiksi Remaja"Mencintai secara tepat di waktu yang terhambat" -Yoko Apasra