"Cas, please. Aku minta maaf, jangan putus."
Casphia menangis, bahkan air matanya menurun sangat deras seperti tak ingin berhenti. "Bajingan! Gue pikir lo emang cinta sama gue, tapi nyatanya itu cuma khayalan gue, ya?"
"Aku beneran cinta sama kamu, Cas."
"Bullshit! Lo gak cinta, lo cuma pura-pura! Lo cintanya cuma sama Lamia! Temen lo dari kecil! Lo pikir gue buta sampe gak liat effort lo selama ini buat Lamia, hah?!" marahnya mendorong bahu Ethan keras.
"Maaf, Cas," sesalnya memalingkan wajah. Tak sanggup menatap Casphia yang menangis dengan keras seperti anak kecil itu.
"Gue benci sama lo!"
Setelah itu Casphia berlari meninggalkan Ethan seorang diri dengan rasa penyesalannya. Sudah cukup jauh, Casphia mendudukkan dirinya di sebuah taman kosong yang sepi. Tidak bisa dibilang taman sebab banyak rumput menjulang tinggi yang tumbuh secara liar.
Kedua tangannya langsung mengambil sebungkus tisu yang sudah ia siapkan di saku roknya. "Sialan. Mau bikin alesan biar gue jadi player aja harus drama."
Di sisi lain, Cassia yang menjadi penonton terpaku mendengar hal itu melalui mimpinya. Ia tidak salah dengar, bukan?
"Emang gak salah gue nargetin itu bocah. Gampang banget gue tipu pake drama murahan. Kalau gini kan kedepannya gue bisa lancar jalanin rencana gue terus pake alesan itu sebelum jadi player," gerutunya masih menghapus air mata seraya mengaca untuk mengecek apakah riasannya luntur atau tidak.
"Gila. Akting gue bagus banget," decaknya kagum menatap pantulan wajahnya yang sembab karena habis menangis kencang bak orang tersakiti.
"Tapi gue masih dendam sama Nyokapnya Ethan. Bisa-bisanya kagak mau nerima gue, padahal Bokap gue sama suaminya temenan. Mentang-mentang gue orang miskin," kesalnya membuang tisu sembarangan.
"Lamia emang cocok, sih. Udah cakep, pinter, tapi masih pinteran gue, terus keluarganya sebelas dua belas kayak Ethan. Apa emang miskin cocoknya sama miskin, kaya sama kaya kali, ya?"
"Bodo amat lah. Intinya gue udah sukses buang waktu satu tahun di SMA ini buat bikin alesan gue jadi player. Kan sayang udah usaha buat punya wajah cakep sama badan seseksi ini dianggurin."
***
Cassia atau Casphia membuka matanya begitu mimpi yang sangat diluar dugaannya berakhir. "Emang gak salah Agnes sama Giselle ngasih julukan orang gila ke Casphia."
"Gue gak nyangka Casphia segila itu cuma demi uang," desahnya memijat pelipis sebab kepalanya terasa pusing seketika.
Namun belum sempat menjernihkan pikirannya, Casphia harus dikejutkan dengan ketukan kencang pada pintu rumahnya. Hari sudah hampir menjelang tengah malam, Casphia takut suara itu akan mengganggu tetangganya.
Memakai kardigan sebab ia hanya memakai baju tidur, Casphia siap menemui tamunya.
"Keluar! Gue tau lo di dalem!" teriaknya. Dari suara berat, Casphia langsung tahu bahwa tamunya seorang pria.
"Apa?" tanyanya begitu berhasil membuka pintu sedikit. Casphia harus waspada karena dirinya berada di rumah sendirian, meskipun rumahnya berada di gang.
"Lo anaknya Lingga, kan?" Pria berbadan besar itu langsung bertanya ketika mendapati Casphia berada di depannya.
Lingga? Ah, Casphia ingat. Nama itu tertera pada Kartu Keluarga Casphia ketika ia sedang mencari-cari sesuatu di kamarnya.
"Iya, kenapa?"
"Karena Lingga udah mati, sekarang lo yang gantiin dia bayar utang. Udah nunggak dua tahun, mau pake alesan apalagi? Atau lo mau nunggu si Bos turun tangan?" sewotnya.
"Berapa?"
Pria itu sedikit terkejut lalu tersenyum miring serta mengode anak buahnya untuk memberi rinciannya.
"Seratus lima puluh juta udah termasuk bunga," balas pria lain bertubuh kurus.
"Tunggu." Casphia langsung memasuki kamarnya seraya membawa ponsel dan juga buku kecil milik Lingga.
"Gue harus transfer atas nama siapa?" Casphia langsung menatap sekumpulan pria bak preman itu, masih membuka sedikit celah pintunya.
"Feral," jawab pria berbadan besar itu.
Casphia mengangguk sekilas seraya membuka buku kecil itu. Dari 50 juta sampai 150 juta?! Casphia menjerit dalam batinnya. Lintah darat bajingan!
"Lunas," ucap Casphia mengigit bibirnya tak rela uangnya habis dalam sekejap seraya menunjukkan bukti transfernya.
"Oke. Kalau minjem lagi lo bisa kabarin gue," katanya langsung dibalas oleh Casphia dalam hati. Gak akan. "Cabut!" ajaknya kepada beberapa anak buahnya yang ikut menagih hutang ke beberapa peminjam.
Casphia langsung melemaskan tubuhnya begitu pintu tertutup dan terkunci rapat. "Rentenir gila! Kenapa Bokap Casphia harus minjem di rentenir, sih? Emang gak bisa dari yang lain?"
"Mau protes juga percuma," decaknya kesal. "Sisa lima puluh juta. Gue harus bagi ke beberapa orang, padahal sehabis tidur gue mau buat rencana malah disamperin langsung. Sialan!"
Menunda memikirkan kisah rumit Casphia, dirinya akan fokus kepada hutang menumpuk ini. Masih tersisa 750 juta lagi. Mau tak mau ia harus menghilangkan rasa malas dan mulai memilah barang mewah Casphia yang masih layak dipakai untuk ia jual.
Kalau tidak, bagaimana bisa dirinya bertahan hidup sebagai seorang mahasiswa? Untung saja biaya kuliahnya gratis sebab Casphia mendapatkan beasiswa.
"Lo beneran jualin barang-barang kesayangan lo?" heboh Agnes dari panggilan suara yang dilakukan begitu Casphia mengunggah jualannya di story Isntagram milik Casphia.
"Story nomer dua puluh! Lo kenapa jualin hadiah dari gue?!" marah Giselle yang ikut bergabung juga dengan panggilan.
"Sorry, gue lupa," balas Casphia langsung menghapus story tersebut. Mau bagaimanapun hadiah dari seseorang seperti Agnes dan Giselle tidak baik untuk dijual.
"Story ke enam puluh satu! Itu barang dari gue Casphia! Kenapa lo jual?!" sembur Agnes heboh.
Casphia menghela napas lelah. "Sebutin apa aja barang yang lo kasih. Nanti gue hapus."
"Masih muda udah pikun lo, ya!" maki Giselle merasa geram.
"Seenggaknya lo harus inget, Cas. Jangan hadiah dari cowok-cowok lo yang lo inget terus," sindir Agnes ikut kesal.
"Btw, story ke tujuh belas barang dari Ethan. Lo yakin mau jual?" tanya Giselle.
"Giselle! Lo kok gitu, sih?!" protes Agnes langsung. "Lo harusnya seneng karena artinya Casphia udah ikhlas terus move on dari bajingan itu!"
"Oh, iya! Bagus, Cas! Lo jualin aja semua pemberian dia sampe gak tersisa!" dukung Giselle cepat.
Boro-boro barang dari Ethan. Barang pemberian kedua perempuan itu saja Casphia tak tahu, apalagi pemberian dari orang lain.
Lihatlah notifikasi pesannya yang kembali banjir akibat barang pemberian mereka Casphia jual. Tentunya Casphia tak peduli, kecuali barang itu dari Agnes atau Giselle.
Karena tujuan utamanya adalah melunasi peminjaman Lingga bucin anak sampai lupa diri bahwa bila ia mati, hutang tersebut akan menjadi beban sang anak. Meskipun Casphia 100% yakin bahwa Casphia asli pasti akan kabur dari masalah merepotkan ini, apalagi menyangkut uang.
Buktinya 200 juta mengendap begitu saja di dalam rekeningnya.
"Keluarga beban."
KAMU SEDANG MEMBACA
Introverts to Extroverts
Teen Fiction[100% Fluff] Akibat trauma masa lalu membuat Cassia menjadi pribadi yang pendiam dan memiliki trust issue. Namun apa yang terjadi ketika ia memejamkan mata saat mengantuk dan kembali membuka mata, ia berada di dunia lain? Bukan ruang kelas sekolah b...