xlvi. break

1.9K 114 4
                                        

Udara malam menyelinap perlahan melalui jendela kaca besar di lantai tujuh. Hembusan dingin yang samar ikut masuk bersama pantulan cahaya kota yang berpendar di balik gedung. Dinding putih ruang fitting memantulkan kilau lampu jalan, menciptakan suasana kosong yang nyaris surreal.

Casphia duduk diam di sudut ruangan. Masih mengenakan setelan putih gading dari sesi fitting terakhir. Rambutnya diikat seadanya, riasan di wajahnya mulai memudar. Namun, bukan itu yang membuatnya terlihat lelah.

Bukan karena fitting. Bukan pula karena jam kerja yang telah lewat jauh dari batas wajar.

Ponselnya kembali bergetar. Entah sudah keberapa kali malam itu.

Ia menarik napas panjang sebelum membuka layar. Notifikasi dari X menumpuk, membanjir seperti air bah. Akun-akun gosip telah mulai menyebarkan "bukti" baru, yaitu screenshot email mencurigakan dan potongan suara yang diklaim berasal darinya.

Isi narasinya jelas bahwa Casphia dituduh memanfaatkan koneksi untuk memperoleh kontrak, dan disebut-sebut telah memanipulasi media demi menjaga citra sempurna.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka salah satu unggahan yang telah dibagikan ribuan kali.

"Fix banget ini. Gak mungkin dia bisa balik secepat itu kalau gak ada 'orang dalam'. Dan ini bukti email-nya, guys. Her whole career is a lie."

Kepalanya tertunduk. Rasanya familiar. Deja vu. Seperti kembali ke awal skandal yang lalu-saat semua orang bersuara, tapi tidak satu pun benar-benar ingin mendengar.

Jantungnya berdegup tidak karuan. Ia ingin pergi. Tapi ke mana?

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka.

"Cas?"

Jade masuk dengan langkah cepat dengan tablet di tangannya. Blazer hitam membungkus tubuhnya rapat, rambutnya dikuncir tinggi. Ekspresinya serius-Jade dalam mode kerja penuh.

"Kita harus ngomong," ujarnya tegas, tanpa basa-basi.

Casphia mencoba duduk lebih tegak. Berusaha terlihat tenang meski hatinya sudah terlanjur tenggelam.

"Gue udah lihat," katanya pelan. "Itu semua bukan gue. Suara sama email-nya bukan gue."

"Gue tau, Cas." Jade duduk di seberangnya, lalu membuka layar tablet. "Kita udah cross-check. Email itu palsu. Metadata-nya aneh. Voice note-nya? Deepfake. Tapi mereka rapi mainnya, jadi netizen langsung telan."

Casphia mengusap wajah. "Gue kira semuanya udah kelar abis vlog kemarin. Tapi ternyata mereka gak pernah capek nyari celah, ya?"

Jade mengangguk pelan, tatapannya mulai melembut. "Karena lo mulai naik lagi. Mereka takut lo bangkit. Jadi ya ... mereka main kotor."

Hening.

Ruangan itu hanya diisi suara AC dan getaran notifikasi yang terus masuk. Dunia digital di luar semakin bising, tapi di ruangan ini-sunyi terasa jauh lebih berat.

"Gue gak tau harus gimana," bisik Casphia. "Setiap kali gue mulai bisa napas, mereka lempar batu lagi. Padahal dulu kayaknya adem-ayem aja."

Jade bersandar. Pandangannya tidak lepas dari Casphia.

"Gue ngerti. Tapi ini bukan waktunya mundur. Kita harus lawan. Kita punya arsip video semua proyek lo, email asli dari tim legal, testimoni staf. Dan yang paling penting? Vlog kemarin udah jadi fondasi. Sekarang tinggal bangun narasi berikutnya."

Perlahan, Casphia mengangkat wajah. "Jadi kita buktiin mereka bohong?"

"Exactly," jawab Jade, tegas. "Kita kasih mereka rasa malu, bukan amarah. Fakta, bukan klarifikasi."

Introverts to ExtrovertsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang