Sebuah bangunan atau gedung besar yang mempunyai bau khas ketika masuk, yaitu antiseptik. Casphia berkunjung, ralat. Terpaksa berkunjung ke gedung bernama rumah sakit itu.
Beberapa kali di sepanjang jalan menuju sebuah ruangan yang dipimpin oleh Ethan membuat Casphia memejamkan mata akibat beberapa kenangan buruk memasuki ingatannya.
Ingatan akan ia harus bolak-balik ke rumah sakit demi kesembuhan mentalnya. Akan tetapi, keningnya berkenyit ketika mendengar suara tangisan.
"Tolong!" jeritnya sehingga Casphia menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri untuk menemukan di mana sumber suara itu.
"Casphia." Kegiatannya harus dihentikkan ketika Ethan memanggil namanya dan ternyata mereka berdua sudah berada di depan sebuah ruangan VIP. Ada dua bodyguard menjaga disetiap sisi ruangannya.
Kaki jenjangnya ikut melangkah masuk mengikuti Ethan. Seketika bau antiseptik yang kuat serta suara alat penunjang kehidupan mulai terdengar olehnya.
Seorang pria paruh baya bertubuh besar sedang terbaring lemas di ranjang pasien. Seperti berusaha keras untuk membuatnya tetap hidup dan terhindar dari penyakit yang dideritanya.
"Casphia," bisiknya rendah tersenyum cerah begitu menemukan sosok perempuan yang sangat ingin ia temui itu. Casphia memiliki wangi khas sehingga ketika masuk, ia langsung mengetahuinya.
Tidak ada jawaban, melainkan Casphia memilih untuk berjalan menghampiri pria paruh baya itu. "Ka-kamu kemana aja? Papa kangen kamu, Nak."
"Saya sibuk, Om," balas Casphia membuat pria itu mengerutkan dahinya tak suka.
"Papa, Casphia. Papa," katanya berusaha mengucap dengan baik di sela-sela kesakitannya.
Ruangan ini hanya ada tiga orang. Casphia, Ethan, dan pria paruh baya itu, Andrew. Dikarenakan Ethan tak mau ada keributan sebab Ibundanya pasti akan memarahi Andrew yang lebih memilih Casphia daripada kekasih Ethan saat ini, Lamia.
Mengulas senyuman tipis masih membuat kadar ketampanan Andrew terlihat. Casphia tidak mengucapkan sepatah kata apapun, tetapi sorot matanya tetap datar menatap Andrew.
Andrew mengusap punggung tangan Casphia setelah ia berhasil menggenggamnya "Begitu, ya? Ternyata kamu beneran baik-baik aja."
Tubuhnya merasa kaku seketika Andrew menggenggam erat tangannya. Casphia merasa terkejut, ternyata orang yang terlihat akan mati kapan saja masih bisa memiliki tenaga untuk menggenggam tangannya.
"Maaf, Papa egois minta kamu ke sini. Ayah kamu nitipin kamu ke Papa sebagai pesan terakhirnya," sendu Andrew membuat Casphia semakin menegakkan tubuhnya.
Jadi, mereka benar-benar berteman? Casphia kira itu kebohongan mengingat betapa gilanya Casphia dulu.
Lirikan Andrew membuat Ethan merubah eskpresinya seketika menjadi kebingungan. Andrew menghembuskan napasnya setelah berhenti mengusap tangan Casphia dan melepaskan tangan itu.
"Terima kasih Casphia sudah mau menuruti kemauan Papa. Melihat kamu baik-baik saja, Papa udah seneng karena pesan terakhir Ayah kamu udah Papa lakuin. Bahagia selalu, Casphia," katanya tersenyum teduh.
Seperti pesan terakhir sebelum ajal menjemput, tetapi Andrew masih belum meninggal. Ethan yang masih satu ruangan juga merasa was-was, tetapi bersyukur sebab alat EKG masih berfungsi dengan baik.
"Sama-sama. Semoga cepat sembuh, Om. Saya pamit," ucap Casphia tersenyum tipis lalu menundukkan tubuhnya sekilas dan berjalan meninggalkan ruangan memuakkan itu.
Casphia sudah tidak kuat, kepalanya mulai pusing. Ethan yang mengejar dari belakang tidak ia gubris karena tujuannya adalah udara malam yang segar.
Beberapa kali dalam perjalanan Casphia menatap tangan kanannya yang digenggam oleh Andrew berakhir ia mendengkus kesal seraya mengambil tisu basah dalam tasnya untuk ia lap tangannya bagaikan sehabis terkena kotoran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Introverts to Extroverts
Teen FictionCassia adalah gadis pendiam dengan trauma masa lalu yang membuatnya sulit mempercayai orang. Namun, hidupnya berubah saat ia tiba-tiba terbangun di dunia yang asing. Bukan ruang kelas sekolah barunya, melainkan ruang kelas perkuliahan yang sama sek...