Kilau lampu blitz membelah malam. Karpet merah sepanjang dua puluh meter membentang di tengah venue termewah Eropa. Langit gelap di luar aula yang megah seolah menunduk pada pesta cahaya di dalam. Wartawan, fashion blogger, dan influencer dari berbagai negara berjejer rapi, kamera mereka sudah siaga sejak satu jam sebelum tamu utama dijadwalkan datang. Hiruk-pikuk bisikan, klik shutter, dan suara desahan kagum mengisi udara.
Casphia pun muncul. Semua lampu langsung mengarah padanya.
Sesaat, dunia terasa berhenti berputar.
Gaun couture-nya seperti lukisan hidup. Warna emerald tua berpadu dengan emas, memeluk tubuhnya dengan presisi. Ratusan kristal kecil membentuk pola phoenix, disulam tangan oleh tim desainer utama. Gaun itu dibuat dalam tiga minggu, secara diam-diam, tanpa bocoran ke publik. Bagi Casphia, malam ini bukan sekadar comeback. Ini jawaban. Sebuah penegasan bahwa ia masih ada. Masih memegang kendali.
Langkahnya anggun, setiap gerakan seolah telah dikoreografikan dengan waktu. Senyumnya tidak berlebihan, tetapi cukup untuk membungkam keraguan siapa pun yang pernah meragukannya. Kamera menangkap setiap gerak bibir, kilau mata, dan helai rambut yang tertiup angin malam dari pintu masuk.
Talitha berdiri tak jauh dari sana. Earphone-nya masih terhubung ke tim teknis di balik panggung. Napasnya tertahan, mata fokus pada setiap pergerakan Casphia. Raka ada di sisi lain, memantau jalur gerak dari monitor kecil yang menampilkan layout karpet dan kamera. Jemarinya mengetuk pelan sisi tablet. Beberapa kru teknis bersiaga, menjaga ritme agar Casphia tetap berada di jalur yang sudah ditentukan.
"Cas, posisi di titik tengah ya. Biar dapet angle lighting-nya," kata fotografer resmi acara, setengah berteriak dari belakang garis.
Casphia mengangguk. Langkahnya mantap. Hak sepatunya mengetuk lantai marmer dengan irama pasti. Suara yang nyaris musikal di tengah gemuruh kamera. Blitz kamera menyala bertubi-tubi. Semua mata tertuju padanya.
Satu detik.
Dua detik.
Tiba-tiba terdengar suara logam patah dari atas rigging panggung. Suaranya kasar. Menggesek telinga. Seperti logam yang dipaksa retak, seperti sesuatu yang sangat berat baru saja kehilangan penyangganya.
Casphia berhenti sejenak.
Matanya naik, menatap langit-langit. Sesuatu dalam dirinya langsung bereaksi. Otot-ototnya menegang, nalurinya menyentak tubuh untuk bergerak. Ia menarik napas cepat. Lututnya sedikit menekuk. Dalam sepersekian detik, ia tahu ada yang salah.
Ia sempat mundur setengah langkah. Lalu memutar sedikit ke kiri, tubuhnya ingin melindungi bagian kepala dan dada. Matanya membelalak. Bahkan ia belum sempat mengeluarkan suara.
"WAIT!"
Raka berteriak dari sisi venue. "MOVE HER!"
Terlambat.
Spotlight besar jatuh dari atas. Besinya menghantam lantai panggung dan memantul. Ujung lampunya menyambar bahu Casphia sebelum pecah di lantai, menciptakan ledakan kecil cahaya dan serpihan kaca.
Tubuh Casphia terhempas ke samping. Gerakannya tak sempurna. Usaha menghindar hanya cukup untuk menjauhkan kepalanya, tapi tidak bisa menyelamatkan bahunya. Ia jatuh keras, gaunnya menyeret lantai. Kristal-kristal mewah itu berderak, sebagian terlepas. Pecahan lampu menghujani marmer di sekitarnya.
Waktu membeku. Tak ada suara. Bahkan blitz kamera pun berhenti.
Casphia tak bergerak.
Reaksi panik mulai terdengar. Beberapa orang mendekat, sebagian mundur. Raka berlari melintasi panggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Introverts to Extroverts
Teen FictionCassia adalah gadis pendiam dengan trauma masa lalu yang membuatnya sulit mempercayai orang. Namun, hidupnya berubah saat ia tiba-tiba terbangun di dunia yang asing. Bukan ruang kelas sekolah barunya, melainkan ruang kelas perkuliahan yang sama sek...
