Bunyi dentingan lift terdengar jelas ketika pintunya terbuka di lantai tujuan. Seorang perempuan melangkah keluar, wajahnya jelas menunjukkan kelelahan. Dengan langkah gontai, ia menyusuri koridor apartemennya, sesekali menghela napas berat.
Begitu sampai di depan pintunya, tangan kanannya terulur untuk menekan kombinasi angka sebanyak enam kali—pin yang sudah ia atur sendiri. Setelah memastikan pintu terkunci, Casphia melepas high heels-nya dan meletakkannya di tempat biasa. Tanpa pikir panjang, ia berjalan ke arah sofa dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke sana. Rasa lelah setelah seharian bekerja mulai memudar, diiringi dengan kantuk yang mulai menyerang.
Namun, sebelum sempat benar-benar terlelap, sesuatu yang dingin menyentuh pipinya, membuat matanya perlahan terbuka.
"Kalau ngantuk, jangan tidur di sini."
Suara itu familiar, membuat Casphia kembali memejamkan mata tanpa merasa perlu merespons.
"Malah tidur lagi." Hector mendengkus, lalu tanpa basa-basi, ia menyelipkan tangannya di bawah ketiak Casphia, mengangkat tubuh gadis itu dengan paksa. "Heh, bocah. Bangun. Tidur di kasur. Kamu itu berat."
Casphia mengerjap malas, lalu mendorong Hector hingga lelaki itu jatuh terduduk di sofa. Tatapan sayunya seketika berubah tajam, sedangkan Hector hanya duduk santai di sampingnya, seolah tak melakukan kesalahan apa pun.
"Gue berat?" Casphia menatapnya dengan sinis.
Hector menumpukan kepalanya ke sandaran sofa, malas menanggapi. "Aku, Casphia. Aku, oke?"
"Kai, gue berat?" ulang Casphia, kali ini suaranya lebih menuntut.
Hector menghembuskan napas panjang sebelum memilih menyalakan televisi dan mengubah posisinya agar menghadap layar. "Menurutmu?"
"Kaiii," rengek Casphia, menarik-narik lengan Hector sampai tubuh lelaki itu bergoyang mengikuti ritme tarikannya.
"Daripada ngurusin itu, mending kamu siap-siap."
Tarikan tangan Casphia terhenti. "Kita ke rumah aku."
Casphia membalas cepat. "Kai!" protesnya, "Jangan gila! Aku gak ada persiapan!"
"Nunggu kamu kelamaan. Keluarga aku gak seluang yang kamu pikir," balas Hector santai, sesekali melirik ke arah Casphia.
Gadis itu menatapnya tak percaya. "Aku juga gak seluang yang kamu pikir!" ketusnya sebelum kembali membanting tubuhnya ke sofa dan memusatkan perhatian ke televisi.
"Apa lagi yang perlu kamu pikirin, Cas?" Hector menoleh. "Mereka udah tau kalau model naik daun itu pacar aku. Aku udah bilang, kan? Mereka gak peduli kamu sejajar sama aku atau kamu mau kayang sekalipun. Mereka percaya pilihan anaknya itu gak pernah salah."
Casphia hanya bisa memajukan bibirnya beberapa senti, cemberut.
"You just have to show up and introduce yourself as my girlfriend."
Hector sebenarnya tidak memberitahu satu fakta lain—bahwa ia kesal diejek terus-menerus karena tidak punya kekasih. Orang tuanya, terutama Hailey, selalu punya cara untuk menggodanya, seperti kejadian kemarin.
"Harus banget?" lirih Casphia menghembuskan napas perlahan.
"Cas, seriously?"
"Kamu ngomong gampang. Aku yang ngelakuinnya berat." Membayangkannya saja sudah cukup membuat perutnya terasa tidak enak. Rasa kantuk yang semula menyerangnya pun langsung menguap.
"Minggu depan. Aku kasih waktu selama itu. Kosongin jadwalmu di antara hari itu." Hector menatap Casphia yang kini memasang wajah melasnya.
"Gak ada penolakan." Dengan santai, Hector mendorong dahi kekasihnya dan kembali fokus ke televisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Introverts to Extroverts
Dla nastolatkówCassia adalah gadis pendiam dengan trauma masa lalu yang membuatnya sulit mempercayai orang. Namun, hidupnya berubah saat ia tiba-tiba terbangun di dunia yang asing. Bukan ruang kelas sekolah barunya, melainkan ruang kelas perkuliahan yang sama sek...
