Tidak Ada yang Abadi

606 73 14
                                    

Bulan mengamati sahabatnya yang nampaknya lagi dan lagi sedang cekcok dengan kekasihnya. Dada Nadia naik turun dengan jempol yang sibuk menari di atas layar ponselnya. Sesekali gadis itu menyesap lemon tea di gelasnya yang sebenarnya telah tandas. Hanya menyisakan es batu yang perlahan mulai mencair. Bulan yakin rasa lemon tea di gelas itu telah hilang berganti rasa air putih dingin yang hambar.

Sementara Bulan memindahkan es batu dari dalam gelas ke mulutnya menggunakan batang sedotan. Lalu menguyahnya memberikan sensasi dingin pada giginya. Kemal yang melihat itu meringis merasakan ngilu di giginya. Bagaimana bisa Bulan melakukannya tanpa rasa ngilu sedikitpun?

"Berantem lagi?" tanya Bulan karena sudah tidak tahan melihat Nadia yang berkali-kali mengembuskan napas berat.

Bukankah awalnya Bulan mengajak Nadia bertemu di Kemistri karena ingin menceritakan kedatangan Samudra ke rumahnya? Sekarang, Bulan malah mendapati sahabatnya memasang wajah masam dan sesekali mengumpat pada ponselnya. Tidak ada kesempatan untuk bercerita.

"Nadia kenapa, Dek?" tanya Kemal yang juga penasaran sebab hampir tiga puluh menit Nadia pada tempatnya. Tidak menyapa, hanya berbicara kasar pada ponsel di tangannya. "Berantem sama Daffa?" tanya lelaki itu lagi memastikan.

Bulan mengedikkan bahunya sembari berusaha menambah stok kesabarannya. Menunggu Nadia bercerita karena sebenarnya Bulan sama sekali tidak suka menunggu dan memendam tanda tanya di kepalanya. Namun, ia tahu Nadia pasti akan marah ketika sahabatnya itu tidak diberi ruang untuk mengurus masalahnya sendiri dan meluapkan segala kekesalannya sendiri. Nanti juga dia akan bercerita dengan sendirinya.

Bulan yang sudah bosan menjadi penonton akhirnya memutuskan untuk mengusik Kemal. Lelaki itu sibuk dengan tumpukan faktur di sebelah laptopnya. Sepertinya Kemal sedang sibuk dengan urusan tagihan.

"Bang Kem kenapa belum nikah?" pertanyaan random Bulan membuat Kemal bahkan Nadia menoleh padanya. Nampaknya pertanyaan 'kapan nikah' dan sebagainya selalu berhasil menjadi pertanyaan pamungkas untuk menarik perhatian sekaligus kekesalan terutama untuk seorang single di usia yang cukup matang.

"Bisa-bisanya kepikiran nanyain itu," gumam Kemal namun lelaki itu sama sekali tidak menunjukkan kekesalannya. "Nunggu kamu wisuda dulu, deh. Nanti Bang Kem lamar," guraunya. Jelas itu tidak serius karena Kemal selalu menganggap Bulan anak kecil sama seperti Nadia.

"Nanti jadi kakak iparnya Nadia dong aku, Bang? Gimana Nad? Keterima gak gue jadi kakak ipar lo?" Bulan tergelak, begitu juga Kemal.

Tidak ada jawaban dari Nadia. Gadis itu masih sibuk merengut menatap layar ponselnya.

"Bang, sebenarnya Bulan mau cerita. Boleh?"

Kemal menoleh pada Bulan sembari menyesap kopinya. "Boleh, Dek. Cerita aja."

"Tadi Samudra ke rumah. Nemuin ayah dan minta izin kalau mau ngajak aku nemenin dia manggung. Ayah marah besar dan ngusir Samudra. Dan bilang kalau Samudra hanya akan mempermainkan aku. Kayanya ayah masih marah karena kejadian kemarin yang sebenarnya hanya salah paham. Bulan mau ngejelasin ke ayah tapi takut tambah marah."

"Biarin aja Samudra yang urus restu dari ayah kamu, Dek. Biar ayah kamu tahu dia serius dan beneran sayang sama kamu. Bulan nurut aja sama ayah. Jangan bikin beliau makin gak suka sama Samudra karena kamu ngelawan ayah kamu."

Bulan mengerjapkan matanya mencoba mencerna dan meresapi saran dari Kemal. Tangannya sibuk memutar sedotan di gelasnya seingga menimbulkan bunyi dari benturan es batu di dalam gelas dengan dinding gelasnya.

"Sial!" Nadia mengumpat karena minuman di gelasnya sudah benar-benar tandas. Bulan dan Kemal saling tatap kemudian tertawa. "Ini laki juga kenapa ngeselin banget!" sambungnya.

Cinta Pertama RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang