"Liam, bangun!" Perempuan itu sudah berusaha menggoyangkan tubuh Liam sekuat mungkin. Ia tengah panik sekarang tidak tahu harus berbuat apa.
Dari awal niatnya hanya ingin mencuci piring, namun sekarang ia harus menyelamatkan anak ini.
Flashback on
"Gue aja yang cuci piring"
"Gapapa Kai?" Tanya Elenna, dan hanya mendapati Kaiza yang menaikkan dua alisnya memberi kode sebagai jawaban.
"Di danau aja yang belakang itu, deket kok. Di kucek - kucek air aja, gausah sabunin soalnya gada sabun juga" Kaiza hanya mengangguk dan membawa tumpukan piring plastik itu.
Sebelum ia sampai ke tepi danau, ia menyipitkan matanya saat melihat orang yang tidak asing tengah berdiri di ujung jembatan kayu tengah danau. Kaiza terus berdiam diri menatap ke arahnya, mengapa Liam bisa sampai sini?
Kaiza kembali memicing saat melihat seseorang berjalan mendekat kearahnya, dan membelakkan matanya ketika orang itu mendorong Liam ke dalam danau. Setelah mendorongnya, orang itu pergi menjauh dari sana.
Kaiza menggertakkan giginya, membuat rahannya mengeras marah. Ia melepas asal piring plastik itu ke tanah, dan berlari menuju jembatan kayu itu. Saat sampai di ujung jembatan ia langsung saja melompat ke dalam danau. Kondisi dalam danau benar - benar gelap, ia tidak heran jika danau ini ada buaya atau apapun. Fokus Kaiza hanya mencari Liam yang sudah tidak sadarkan diri di dalam sana.
Ia melingkarkan tangannya di pinggang Liam, dan menariknya kepermukaan. Kaiza membawa tubuh Liam ke tepi danau dan menidurkan tubuh Liam di tanah, ia duduk terengah - engah di samping Liam.
Flashback off
"Liam? Bangun!" Kaiza berusaha menepuk - nepuk pipi anak itu, namun ia tak kunjung bangun. Ia mengusak rambutnya frustasi.
"Should I..?" Kaiza mengigit bibir dalamnya merasa putus asa, hanya itu satu - satunya cara yang ada di otaknya sekarang.
Kaiza mendekatkan wajahnya ke arah Liam, perlahan tapi pasti bibir mereka bersentuhan. Kaiza melakukan pertolongan pertama untuk orang yang tenggelam. Lagipula ini bukan ciuman sungguhan, dia hanya ingin membantu.
Kaiza menekan - nekan dada Liam, dan memberikan dia nafas buatan secara bergantian sampai anak itu terbangun dan terbatuk - batuk mengeluarkan banyak air.
Kaiza terduduk lega melihatnya, ia menatap langit sedikit merasa malu. Itu tadi bukan ciuman kan? ia hanya ingin membantu agar anak itu tidak kenapa - napa. Kaiza menyentuh bibirnya, bahkan rasa bibir itu menyentuh bibir Liam masih terngiang - ngiang di otaknya.
Kaiza menoleh saat mendengar suara isakan dari Liam, ia menatap panik ke arah Liam. Kenapa anak itu tiba - tiba menangis histeris.
"Liam? Are you okay?" Kaiza menyentuh bahu Liam, dan sedikit menunduk untuk melihat wajah anak itu.
"Aku.. Aku gabisa berenang lagi.. Dia iket tangan kaki Aku, Aku gabisa capai permukaan sama sekali.. Aku bakal ... mati.. mati..." Kaiza terkejut melihat ucapan anak itu, apa yang terjadi dengannya. Kaiza bisa melihat tubuh Liam yang bergetar hebat ketakutan.
Ia memeluk tubuh itu mencoba menenangkannya. Ia tidak tahu apa yang ada di pikiran anak itu, dan apa yang di ucapkannya.
"It's okay, everything is fine.. I'm here" Kaiza mengelus kepala Liam, ia yakin Liam tidak akan bisa kembali dengan tubuh lemahnya.
Kaiza langsung menyelipkan tangan kanannya di bawah kedua kaki Liam dan mengangkat tubuh Liam tanpa meminta izin darinya. Anak itu masih terus menangis, melingkarkan tangannya di leher Kaiza dan menyembunyikan wajahnya di bahu Kaiza.
Semua orang di area perkemahan langsung heboh melihat Kaiza yang membawa Liam dalam gendongannya. Keduanya terlihat basah kuyup, entah apa yang terjadi. Ketiga teman Liam langsung menghampirinya dengan raut khawatir.
"Ada apa ini?" Denzel bertanya pada Kaiza untuk meminta penjelasan.
"Periksa anaknya dulu" Ucap Kaiza dan langsung membawa Liam ke posko kesehatan. Di dalam posko Liam tidak berhenti menangis, dia terus menyebutkan kata Papi membuat semua orang bingung.
Denzel menyerobot kerumunan anak PMR itu untuk mencapai Liam, sampai di sampingnya Liam langsung menyentuh kedua bahu Liam untuk menatapnya.
"Liam? Hey, remember me? Denzel.. It's okay, it's gonna be okay? Jangan takut.." Liam menatap Denzel, tangisnya semakin pecah.
"Mau Papi... Papi.." Denzel mengigit bibir dalamnya merasa bingung. Jika ia menghubungi Mavrendra saat ini, itu akan menjadi masalah baginya karena tidak becus menjaga Liam.
"Panggil" Denzel menoleh kebelakang menatap Kaiza yang tengah menatapnya. Ekspresi datar Kaiza malah terlihat seakan - akan anak itu tidak sabar.
"Ga bisa.."
"Panggil Papinya, gue bakal tanggung jawab buat ngomong" Ucap Kaiza membuat Denzel kembali resah dan mengigit bibir dalamnya, dan menggaruk keningnya bingung.
"Lo ga denger gue bilang apa?" Kaiza menarik kerah baju Denzel saat anak itu tidak melakukan apapun, Kaiza merasa kesal karena pasalnya Liam terus menangis ketakutan dan Denzel hanya diam seperti orang bodoh.
Denzel membasahi bibirnya yang kering, ia semakin panik melihat Kaiza yang marah menatapnya. Ia akhirnya keluar untuk menghubungi Mavrendra.
Kaiza menyuruh anggota PMR untuk keluar memberinya waktu dengan Liam, untuknya mereka mengangguki itu tanpa paksaan.
"Liam! Look at me!" Kaiza meletakkan kedua tangannya di samping kedua paha Liam.
Liam masih terdiam, menunduk menangis dan tubuhnya masih bergetar ketakutan. Entah apa yang terjadi dengan anak itu.
"Don't you want to explain what happened?" Liam mengigit bibir dalamnya, perlahan tapi pasti matanya menatap Kaiza. Mata itu, terlihat penuh amarah namun membuatnya merasa aman sekaligus.
"Takut... Liam ga apa - apain Dion.. Liam ga apa - apain.. Liam gatau apa - apa, Liam ga pernah ngebales Dion.. Tapi dia.. dia pukul Liam.." Liam kembali menangis ketika mengingat kejadian itu.
Kaiza berusaha menatap mata Liam, ia mendekatkan wajahnya lagi dengan tatapan menuntut.
"Siapa?"
"Siapa yang berani mukulin lo?" Tatapan Kaiza malah semakin membuatnya takut, membuat isakan tangisnya semakin kencang.
"Hey! Look at me, Liam?" Kaiza menarik dagu Liam untuk menatapnya.
"Don't be afraid, Lo aman sama gue.. Siapa yang mukulin?" Kaiza yakin saat ini Liam tengah melantur, nada bicaranya terdengar aneh.
"R.. Rey.. Liam udah bilang Liam gasalah" Liam menggeleng keras, Kaiza mengangguk paham. Ia masi diam untuk mendengarkan lebih lanjut.
"Dia.. Dia terus pukul, Liam sakit disini.. disini" Liam menunjuk dimana ia di pukul, namun Kaiza hanya menatap tempat dimana Liam tunjuk. Tidak ada lebam, atau bekas pukulan disana. Sama sekali tidak ada.
"Terus? Dia ngapain lagi?" Liam masih sibuk terisak, berusaha mengeluarkan suara.
"Waktu pulang sekolah, Dia cegat Liam.. Dia bawa ke kolam renang. Liam udah jelasin, Liam.. Liam gasalah, tapi dia ga denger... Dia ngiket tangan sama kaki Liam. Dia... Dia bilang.. Liam harus rasa yang Dion Rasa... di--" Liam kembali terisak kencang, ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
Kaiza memeluk Liam ketika anak itu kembali histeris, ia yakin ada yang aneh sedang terjadi.
"Gaada yang tau.. Gaada yang cari Liam.. Liam sendiri.."
"Sekarang ada.. I won't leave you alone, Liam" Kaiza mengelus pelan rambut Liam dan punggungnya, berusaha membuat anak itu tenang.
tbc..
KAMU SEDANG MEMBACA
ADORE YOU [ENDING]
Roman pour AdolescentsKaiza Lavinia begitu menganggumi Reyden Cakramawa Biantara sejak pertama kali ia masuk SMA Cipta Karya, ia selalu memikirkan sosok itu sampai rasanya membuat Kaiza gila. Sedang asik asiknya mengagumi sosok yang dia suka, kehadiran Liam Mavrendra ma...