Varel tiba di kediamannya, ia menatap kediaman mewah miliknya itu, sungguh sangat mewah. Rasanya malas sekali untuk tinggal di sini, tapi mau di apakan jika dirinya tidak diperbolehkan untuk tinggal di tempat lain.
"Berkeliaran entah kemana hingga malam, tidak punya etika?"
Varel menutup mata sejenak, ia melangkahkan lagi kakinya tapi suara itu kembali terdengar.
"Varel, tidak sopan, apa telingamu itu sudah tidak lagi bisa mendengar?"
"Maaf, tapi aku lelah."Tak memperdulikan ucapan dari pria yang sayangnya adalah ayahnya itu, Varel langsung naik ke lantai atas, tempat di mana kamarnya berada.
Victor berdecak, putra tunggalnya itu sungguh pembangkang.
Bersekolah di sekolah negeri dan tidak mau mendengarkan dirinya.
Victor melihat asistennya,"Katakan."
"Maaf profesor, ini tentang tuan muda Varel yang di isukan seorang gay, itu juga alasannya pindah ke sekolah negeri."
Lagi? Selalu saja seperti itu, isu-isu itu terus saja merajalela ke telinganya. Gay dan gay! Kenapa anaknya itu menjadi gay, banyak wanita yang siap menyerahkan harga dirinya untuk Varel tapi anaknya yang bodoh itu malah memilih menjadi gay!
"Rendahan, siapa yang dia suka."
"Maaf prof, untuk itu saya tidak tahu. Tuan muda Varel selalu waspada bahkan dia akan tahu jika orang-orangmu mengikutinya."
"Ck! Awas saja jika dia benar-benar menyukai sesama jenis."
"Bagaimana dengan penyelidikan?"
Asisten pribadi, Eric. Memberikan beberapa dokumen pada tuannya itu, dan langsung di buka oleh sang empu.
"Saya sudah memfoto beberapa bukti yang menunjukkan jika ada sesuatu yang janggal, itu seperti jejak kaki."
"Jejak kaki?"
"Benar, prof. Ini seperti jejak makhluk asing yang singgah di bumi ini, bisa di katakan dari meteor jatuh itu ada juga makhluk lain yang berada di dalamnya."
"Apa pemerintah tahu?"
"Tidak, karena serpihan meteor itu berada di tanah kosong perusahaan, Anda. Maka tidak ada yang tahu karena Anda sendiri yang melarang pemerintah untuk menyelidiki tempat itu."
"Bagus."Victor menyeringai, "Makhluk? Sepertinya benar-benar nyata bukan?"
"Saya pikir begitu."
"Suruh orang-orang kita mencari ke seluruh hutan, jangan sampai pemerintah tahu dulu mengenai ini, alihkan perhatian mereka dan jangan sampai mereka juga menyelidiki di hutan."
"Baik, prof."
Victor terkekeh pelan, "Alien ... itu nyata bukan?"
* * *
Sudah seharian Lava tinggal di kos'an Tera, hingga Tera tidak bisa pergi magang kemarin, bahkan Varel sudah menghubunginya tapi tak ia jawab karena ia sungguh kesal dengan emaknya itu.
"Ini yang namanya Lava, ganteng juga lo! Tapi gantengan gua."Rendy mengangguk pelan, kakaknya sudah bercerita tentang Lava. Sebenarnya ia ragu dengan asumsi Epa yang mengatakan jika Lava adalah orang kaya yang lupa ingatan, tapi ia iyakan saja ucapan kakaknya itu agar dirinya tidak di pukul panci.
"Oren tolong bilangin ke Emak! Masa dia tinggal di sini, make baju gua lagi!"Tera berkacak pinggang, ia tidak mau tinggal bersama Lava, orang aneh ini. Lava seperti orang bodoh dan berbicara aneh, bahkan dia mencari makhluk kecil yang tidak tahu apa namanya, Lava mengatakan jika dia membawa temannya. Memang gilanya sudah parah! Lava seorang diri tapi malah mengatakan jika dia bersama temannya.
"Kagak kagak! Di gebukin panci gua kalo ngomong gitu, biarin napa, lagian dia kagak ganggu!" Rendy duduk di sofa sambil memakan cemilan yang di baru saja ia ambil di atas meja.
"Tolongin dong Oren ... gua butuh pripasi! Yu now pripasi? Gua udah nyaman tinggal sendiri."
Lava hanya diam, tapi matanya tidak pernah diam karena melirik ke kiri dan ke kanan. Ia mencari Piyo yang tidak tahu hilang kemana, khawatir akan Piyo yang menghilang, padahal Piyo ada bersamanya tapi malah melarikan diri.
"Ape lu! Ngomongin Emak dari belakang, iya!"
Rendy langsung membalikkan badannya, ia tidak mau berurusan dengan kakaknya itu, lebih baik dia diam.
Tera hanya cengengesan, "Emak sih! Kenapa Lava enggak tinggal sama Emak aja sih!"
Saran Tera itu langsung diberikan hadiah oleh Epa, dia menarik kuping anaknya itu.
"Aduh! Mak kenapa sih suka jewer telinga Tera!"
"Ya elu ngomong kagak di filter! Ya kali Lava tidur sama Emak! Orang-orang nanti pada heboh janda montok cantik jelita kembang kampung ini bawa laki ke rumahnya!"
"Iya iya! Maaf ... tapi lepasin dulu ni kuping! Kalo tambah panjang gimana! Kagak ganteng lagi Tera Mak!"
"Mana ada begitu! Emang elu kagak ganteng!"
Tera memegang dadanya, tega sekali emaknya ini, biasanya seorang ibu memuji anaknya tapi Epa malah sebaliknya.
"Mak tega ..."
"Dah dah udah! Jangan lebay!"
Tera jangan bisa mengusap dadanya sabar, "Orang ganteng harus sabar," apa yang dikatakan Epa itu tidak benar, dia tampan percayalah, Tera itu tampan.
"Lava lu belum inget kan tempat tinggal lu dimana, jadi sekarang lu ikut Emak ke warteg, tolongin Emak."
Lava itu mirip sekali dengan orang luar negeri, jika Lava berada di wartegnya maka pasti akan bertambah laku, kapan lagi melihat orang taman berjualan nasi.
"Tapi ..."
"Dah kagak usah mikir, nanti Emak kasih Pete, doyan kan lu!"
Lava yang mendengar itu mengangguk, ia tidak masalah ikut dengan Epa, tapi ia juga harus mencari Piyo. Semoga Piyo baik-baik saja.
"Ayok!"Epa memegang tangan Lava dan menariknya keluar.
"Liat! Kelakuan kakak lu!"Tera hanya bisa mendengus, selalu saja Lava ya g di dahulukan oleh emaknya itu, mungkinkah dirinya ini akan tersingkirkan setelah dulunya tersingkirkan oleh kucing kesayangan emaknya itu.
"Kagak boleh gitu! Itu emak lu! Sana ikut, tolongin Emak lu jualan."Rendy mengambil kunci motornya.
"Oren mau kemana?"
"Mau nagih duit kos'an."
Tera hanya mengangguk tapi setelah itu berlari mengejar Rendy.
"Ren! Oren! Lah dia malah pergi! Kenapa kagak numpang sama dia ke warung Emak! Ya elah! Males banget jalan kaki!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALIEN (BL)
HumorTera Parama. -Siswa SMK yang lagi magang. -Suka Drakor. -Anak kesayangan Emak. -Nggak suka Lava. Phi Lava -Alien nyasar ke Bumi. -Melindungi harta berharga. -Tidak terlalu mengerti dunia manusia. -Suka Tera. Semesta itu rahasia, kehidupan didalamny...