"Pergi dari Indonesia atau kau akan mati menderita." Itu seruan yang mengerikan, tetapi kenapa masih banyak yang bertahan di negeri ini?
Santoso merelakan beasiswanya demi menjadi musuh pemerintah, alhasil ia harus meninggalkan Indonesia. Hanya ada...
Maaf guys, telat update, notifikasi Wattpad agak eror ya? Hm. Untuk sekarang, tidak ada target karena Jumat jadwal update seperti biasa. Tapi kalau mau vote sampai 100 juga boleh ‼️
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pintar
===
Tubuh Santoso dipaksa bekerja lebih dari seharusnya. Biasanya tubuh itu hanya siap dengan pukulan sang ayah atau duduk berjam-jam mengerjakan tugas kuliah. Tidak terbiasa terhadap aktifitas berlari sejauh kurang lebih dua kilometer. Santoso beberapa kali memelankan laju larinya, mengatur deru napasnya. Namun, ketika mengingat bahwa Gate sedang sekarat, ia memaksa tubuhnya untuk berlari lebih cepat lagi.
Gereja itu ada di pinggir kota. Tidak megah dengan arsitektur rumit. Hanya gereja dengan kayu sebagai bahan utama. Salib raksasa di atap adalah satu-satunya kemegahan yang gereja itu punya. Mobil tahanan terparkir di samping gereja, membuat Santoso yakin bahwa ini gereja yang menjadi tujuannya.
Pintu gereja sedikit terbuka, menampakan cuplikan isi di dalamnya. Darah, mayat dan Gate yang sedang... teler? Santoso sempat ragu saat melihat perempuan itu tertawa, apa ia berhalusinasi dan mengalami hipotermia di musim gugur Rusia?
"What the heck?" Mayat-mayat yang tersebar di berbagai sudut gereja bagai menapak tilasi kejadian pembunuhan Soeryo tempo lalu. "Are you high? Seharusnya aku percaya Johan, katanya kau tidak akan mati."
Semakin diteliti, Gate bukan hanya sekadar di bawah pengaruh narkoba. Tetapi ia sedang mencoba mengeluarkan peluru dari dalam perutnya. Telapak tangannya berlumuran darah, bagai memakai sapu tangan berwarna merah. Sementara satu tangan lainnya sibuk memasukan obat-obatan di mulut.
"I found it," ucap Gate bangga, mengangkat tinggi-tinggi peluru yang berhasil ia keluarkan dari perutnya sendiri. Santoso memapah tubuh Gate, tidak sanggup mengangkat karena sebagian energinya habis untuk berlari. "Biar aku beri tau, tiap kali aku bertarung aku selalu memakan morphin. Obat itu pereda nyeri luar biasa, meski tidak bisa meredakan nyeri saat aku berusaha mengoperasi diriku sendiri."
"Aku akan membawamu kepada Johan, dia bisa mengobati luka pasca operasi." Sudah ada bukti nyata, Arumi berhasil selamat usai dioperasi oleh Johan dengan alat kesehatan seadanya.
"Jangan. Dia pernah benar-benar menghajarku di atas ring karena aku menggodanya, ugh." Gate melenguh kesakitan ketika berjalan. "Kau agak berbeda dari laki-laki itu. Johan bisa kasar kepada siapa pun, kau tidak bisa, meski kau tidak menyukai orang tersebut. Apa itu tabiat calon politikus? Berpura-pura baik di depan orang yang tidak kau suka?"
"Diam," tegas Santoso, mulai merasa keberatan dengan bobot tubuh Gate yang mungkin sama dengannya.
"Aku dikhianati." Larangan Santoso sama sekali tidak didengarkan, Gate justru semakin banyak berbicara. "Aku ingin membebaskan atasanku. Aku telah membuat rencana, aku membunuh adiknya dan dia hadir di pemakaman adiknya di gereja ini. Tapi saat ia berhasil menghabisi seluruh polisi penjaga itu, ia kabur tanpa berterima kasih. Ia bilang sudah bosan denganku."