13

5.9K 1K 278
                                    

Halo! Meskipun audience-ku belum sebesar itu, aku ingin buat target vote dan comment untuk dopping melanjutkan cerita ini. Kalau target vote dan comment terpenuhi, aku akan update cerita ini langsung setelah target tercapai. Sekaligus memberikan apresiasi pada pembacaku dengan fast update. Kalau target tidak tercapai, cerita ini akan tetap update di hari Jumat, jadi jangan khawatir nggak akan update tiap Jumat ya.

Oke, target kali ini 60 vote dan 70 komentar untuk update cepat 🔥🔥

Oke, target kali ini 60 vote dan 70 komentar untuk update cepat 🔥🔥

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pesan Ibu

===

Sebatang rokok serta singkong rebus menemani malam Santoso membaca buku berjudul Pasal-Pasal di Indonesia. Kesiur angin menembus jendela kamarnya yang tidak sedang dihuni Wening. Segala kemungkinan terjadi, toh ia bukan orang yang kebal hukum walau lulus sebagai sarjana hukum. Bisa saja ia akan dilaporkan dengan pasal mengenai penyiksaan, penyerangan atau apa pun terhadap ayahnya. Saksi mata di warung kopi banyak.

Jika sampai Djaksa menuntutnya, Santoso sudah menyiapkan alibi serta pasal pembelaan lain. Ia sudah mantap, akan memenangkan pengadilan ini kalau ayahnya sendiri menggunggatnya. Ia akan memastikan ia bisa bersilat lidah di depan hakim dan pengacara.

"Kenapa sih, Om?" Pertanyaan itu telah dikeluarkan Wening mungkin lebih dari sepuluh kali dalam satu jam terakhir. "Kenapa Om malah mukulin tangan bapak Om sendiri? Aku nggak minta. Aku cuma nggak nyaman di rumah, bukan berarti aku mau Om balas dendam."

Santoso tidak menjawab. Takut bila salah bicara, meski ucapan sudah di ujung bibirnya. Wening tidak tau kondisi keluarganya, pantas saja berkata seperti itu.

Sebelum Wening bertanya kenapa kembali, akhirnya Santoso memberi jawaban. "Saya ngelakuin itu bukan buat kamu, nggak usah merasa sok penting."

Wening akhirnya tidak lagi bertanya. Sedikit melonggarkan isi kepala Santoso yang sibuk menyusun skenario. Gadis itu lebih memilih mengomel-omel manja di depan Suri.

Sayangnya dari sekian banyak skenario, Santoso tidak menyangka bahwa salah satunya adalah Djaksa datang membawa aparat, merangsak masuk ke rumahnya. Santoso keluar dari kamar, bergegas menjadi garda terdepan keluarganya yang kebetulan sekali hanya terdapat ibunya saja. Kedua kakaknya sedang pergi, satu mencari peruntungan bekerja lembur di pabrik, satu lagi membawa anak dan istrinya singgah ke rumah mertua.

"Tangkap anak perempuan nggak tau diri itu!" Djaksa berseru di depan pintu. "Mampus keluarga Soeryo! Saya laporkan kamu ke aparat khusus yang sedang mencari sisa keluarga Soeryo yang masih hidup."

Santoso mencoba menghalangi di depan, kendati usahanya sia-sia. Delapan orang berpakaian serba hitam mendorongnya mundur. Ia jelas kalah telak.

Terlebih satu di antara delapan orang serba hitam ternyata Johan. Tidak tampak batang hidungnya berhari-hari, tiba-tiba muncul di depan rumahnya. Entah di mana Johan berpihak saat ini. Apakah pada akhirnya Johan akan mengkhianatinya?

Tanda SeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang