"Pergi dari Indonesia atau kau akan mati menderita." Itu seruan yang mengerikan, tetapi kenapa masih banyak yang bertahan di negeri ini?
Santoso merelakan beasiswanya demi menjadi musuh pemerintah, alhasil ia harus meninggalkan Indonesia. Hanya ada...
Kembali lagi dengan target, semoga kalian tidak tertekan dengan target ini 👉👈 88 vote dan 88 comment for gercep update .Untuk translate bahasa asing atau hal-hal penjelasan sejarah, cek komentar pada paragraf yang memuat hal tersebut. Author akan translate atau memberi penjelasan di komentar.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Maaf
===
Slavik University terbentang megah mengisi pusat kota Moskow. Luasnya berkali-kali dari kediaman Soeryo. Hari ini ia dijadwalkan untuk pertemuan dengan pihak kampus terkait beasiswa magisternya. Saingannya dari berbagai benua tapi ia melihat satu atau dua orang Indonesia. Tampak dari karakter wajah serta postur tubuh yang tidak setinggi calon mahasiswa lain.
"Orang Indonesia juga ya?" tanya Santoso menghampiri seorang pemuda berkacamata tebal. Tadinya ia berpikir akan menyenangkan bertemu dengan sesama dari negaranya di negara asing yang menjadikan mereka minortitas. Namun, kenyataannya tidak begitu.
"Ya," balas ketus pemuda itu, enggan diganggu. "Dasar, diaspora lainnya yang mencari beasiswa gratis," gumam pemuda terebut, secara tidak langung itu mengejeknya.
"Maaf?"
Pemuda itu mengembuskan napas panjang. "Saya tebak, di Indonesia pasti wajib pajak kamu nggak sebanyak saya. Saya ada tiga mobil, dua rumah, dan satu tanah. Tiap tahun juga harus bayar pajak penghasilan. Wajar kalau saya minta Indonesia kasih saya beasiswa besar di universitas ini. Pajak yang saya bayar harusnya dikembalikan lagi ke saya."
"Oh." Jangankan membayar pajak, justru Santoso dan keluarganya malah menunggak tiap tahun. "Saya baru tau ternyata seperti itu cara pemikiran orang-orang kaya yang masih mencari beasiswa. Dulu waktu saya sarjana, beberapa kali saya ditolak sama beasiswa pemerintah. Saya tebak," Santoso mengulang cara bicara pemuda itu. "Pasti nilai-nilai kamu nggak sebagus saya."
Pintu ruangan rapat dibuka, menghentikan perdebatan antara si kaya dan si kurang beruntung. Para calon penerima beasiswa masuk ke ruangan tersebut lalu mengambil tempat duduk bebas dengan tertib. Satu ruangan itu bagai berisi satu dunia, berbagai orang dari negara disatukan di sana. Mulai dari ujung Amerika, Afrika, Asia sampai Australia.
"DoH-bruh-yeh-oo-truh!" Seorang pria berambut hitam dengan tubuh agak gempal itu berdiri di depan ruangan. "Kenalkan namaku Yakov, or if you pronounce in English akan menjadiJacob. Aku panitia penerimaan beasiswa, tugasku memastikan kalian mengerti kegunaan beasiswa ini dan syarat mempertahankannya." Yakov membagikan kertas sebanyak lima halaman pada masing-masing peserta.
"Selain nilai-nilai yang harus dipertahankan, kalian harus mengabdi pada kampus ini, menjadi peneliti selama kurang lebih satu tahun sebelum kalian kami nyatakan bebas." Yakov mengetuk-ngetukan jemarinya di atas meja. "Ilmu itu mahal dan tidak ternilai. Air menetes di atas batu, perlu waktu cukup lama membuat batu itu berlubang. Tapi dengan ilmu... tiba-tiba saja muncul inovasi palu jadi kau tidak perlu bergantung pada air lagi."