38

6K 841 128
                                    

Halo! Sudah lama rasanya tidak hadir di sini. Mungkin sekitar 1 minggu lebih? Lebih banyak. Hehe. Mohon maaf atas keterlambatan update. Mendekati ending rasanya tegang sekali. Terima kasih ya sudah senantiasa menunggu. Omong-omong, tidak ada target vote dan comment ya untuk saat ini karena takut tidak bisa memenuhi update cepat. Semoga kita bertemu lagi seperti biasa di hari Jumat.

Bab ini tidak ada romance, tetapi semoga tidak membosankan ya. Tapi siapin amplop guys, 2 atau 3 bab lagi kita ke kondangan.

Ada Demo Dalam Kata Demokrasi, Tetapi Itu Tidak Ada Maknanya di Negeri Ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada Demo Dalam Kata Demokrasi, Tetapi Itu Tidak Ada Maknanya di Negeri Ini

===

"Saya tanya, kalian bekerja pakai tirai?" Santoso melempar proposal pengajuan pergantian tirai tersebut ke atas meja kerjanya. "Mengganti tirai rumah dinas saja perlu biaya seratus juta. Kalau tirai rumah dinas diganti, apa kasus orang-orang yang rumahnya terancam digusur di pinggir kota bisa selesai?" tantangnya, membuat karyawan di hadapannya berdiri sembari menunduk takut. 

"K-Kami memesan tirai dari UMKM setempat, sehingga kami juga secara tidak langsung memajukan usaha warga," jelas salah seorang akuntan, masih menunduk.

"Pintar." Itu kata pujian, tetapi Santoso jelas tidak bermaksud demikian. "Kenapa pesan di UMKM dekat sini? Saya tau pengusaha tirai yang kalian tuju. Sudah tua, mudah dibodohi, tidak punya rekening bank sehingga pembayaran harus cash. Begitu?" 

Hening lama menyelimuti ruangan itu. Sampai akhirnya Dewi memasuki ruangan setelah mengetuk dua kali tanpa menunggu izin apakah ia boleh masuk. "Acara pembentukan mentalnya udah selesai?" tanyanya santai. "Dua jam lagi, kita ketemu sama pengacara yang mau menangani kasus penggusuran." 

Santoso masih ingin menguliti bawahannya tetapi di luar sana ada rakyat yang menanti hak rumah tinggal mereka. Sebuah mall direncanakan akan dibangun di pinggir kota Jakarta. Mall itu memakan lahan rumah warga. Yang jadi perdebatan, rumah warga tersebut ilegal, bukan rumah tetap dengan sertifikat tanah sah. Orang-orang membangun rumah sebisanya, dengan seng dan triplek dibangun sedemikian rupa. Lambat laun, cara itu diikuti orang-orang lain yang tidak mampu membeli rumah tapi ingin punya rumah. 

"Proposal ini saya tolak. Setiap dana yang mau dikeluarkan kementrian ini, harus lewat tanda tangan saya. Hobi saya membaca jadi mau kalian buat seribu halaman proposal nggak bakal buat saya bosan. Malah saya akan baca semuanya karena penasaran isinya apa saja sampai bisa seribu halaman," tekan Santoso. "Tugas kalian selanjutnya kasih audit satu tahun terakhir sebelum saya menjabat. Habis riwayat kalian kalau saya sampai menemukan kelebihan dana yang tidak masuk akal. Besok harus ada di meja saya."

"Baik, Pak." Satu di antara mereka mewakili untuk menanggapi. "Terima kasih, kalau begitu kami permisi." 

Setelah acara pembentukan mental yang dimaksud Dewi selesai, Santoso merapihkan krah kemejanya sebelum mengikuti Dewi turun ke lobi. Santoso kira PR hanya untuk anak-anak sekolah saja, namun ternyata PR tersebut hadir lebih banyak ketika ia sudah lulus sekolah dengan gelar-gelar mengagumkan.

Tanda SeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang