17

677 124 176
                                    

Halo! Target vote dan komentar masih sama ya. Di 80 vote dan 80 komentar untuk fast update. Terima kasih sekali atas antusiasme kalian yang luar biasa. Cerita ini tidak akan fast update kalau tidak ada dukungan vote dan komentar dari kalian semua.

Benar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Benar

===

"Dari lima puluh soal kamu cuma bisa benar 28." Kertas berisi rumus dan tulisan itu banyak sekali coretan berwarna merah. Tiada satu lembar pun yang lolos dari tinta merah Santoso. "Ini pasti karena kamu kurang latihan. Sisa 22 soal yang salah ini, kamu harus ulangi langkah-langkahnya sampai bisa. Itu PR kamu."

Arumi meremas poninya yang berantakan tidak keruan. "Jangan teken aku, Om. Aku pusing."

"Ujian penyetaraan tingkat SMA sebentar lagi. Habis itu juga ada ujian masuk perguruan tinggi. Kalau kamu dapat nilai bagus, kamu bisa kuliah dengan beasiswa seperti saya."

Coretan tinta hitam di ujung-ujung jari Arumi. Bahkan ada beberapa coretan tinta hitam di pipinya yang tidak ia sadari. "Tapi Bapak aku pernah bilang, Om itu sebenarnya bisa lolos beasiswa pemerintah tapi Om nggak punya orang dalam tenaga pendidik jadi Om nggak pernah lolos. Akhirnya Bapak kasih beasiswa ke Om karena kasihan soalnya sayang orang sepintar Om nggak bisa kuliah."

Itu cerita lama, Santoso tau betapa kotornya dana-dana beasiswa dikucurkan. Dana-dana itu dikeluarkan dengan harapan timbal balik dari orang-orang berada yang menyogok tenaga pendidik agar anaknya bisa lolos beasiswa. Memberi berharap kembali.

"Intinya kalau kamu pintar, kamu pasti bisa dapat beasiswa," tandas Santoso menutup buku-buku latihan soal. Berbarengan dengan itu, suara pintu apartemen Arumi yang telah terbuka diketuk beberapa kali.

"Santo!" sapa Gate dengan mulut penuh asap tembakau. "Ayo! Hari ini ada jadwal kunjungan ke penjara. Kita laksanakan misi kita," ajaknya antusias.

"Oke," balas Santoso bersemangat, hendak melihat-lihat kondisi penjara di Rusia. Calon pengacara sepertinya harus mengetahui penjara karena ladang uangnya ada pada narapidana.

"Nggak! Om jangan pergi!" Belum satu langkah Santoso berjalan meninggalkan meja belajar Arumi, gadis itu menarik ujung jaket Santoso sekuat tenaga.

"Saya harus pergi. Siapa tau di penjara saya bisa cari uang. Ini kesempatan buat saya belajar hal baru dan beradaptasi di negara orang." Santoso berusaha melepaskan tangan Arumi di jaketnya tapi karena tidak tega tangan sekecil itu beradu kekuatan tarik menarik dengannya, akhirnya Santoso terpaksa membuka jaketnya.

Usahanya tidak berhasil, Arumi sekarang nekat memegangi kaki kanan Santoso. "Jangan pergi! Aku takut sama Johan."

"Johan nggak mungkin nyakitin kamu, Rumi," bujuk Santoso yang membantu Arumi berdiri.

Tanda SeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang