"Pergi dari Indonesia atau kau akan mati menderita." Itu seruan yang mengerikan, tetapi kenapa masih banyak yang bertahan di negeri ini?
Santoso merelakan beasiswanya demi menjadi musuh pemerintah, alhasil ia harus meninggalkan Indonesia. Hanya ada...
Terima kasih targetnya tercapai cepat sekali. Maaf ya update-nya agak lama. Sebentar lagi 98K, rencananya kita rayakan dengan bikin part tambahan di KaryaKarsa tapi GRATIS ya. Nanti info selengkapnya di-update di Wattpad atau Instagram yourbrainwasher.
300 vote dan 100 comment buat next sebelum Jumat?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
===
Lampu-lampu jalan mulai menyala bergantian. Menerangi langit New York yang menggelap. Di salah satu bagian kota yang cukup sepi, Santoso menepi. Mengeluarkan cincin yang tadi ia beli.
"Pakai ini," katanya sembari mengenakan cincin tersebut di jari manis Arumi. Cincin itu bersinar di tengah gelapnya malam. "Biar orang-orang tau kamu sudah punya pasangan. Dan pasangannya bukan orang sembarangan karena harga cincin ini mahal. Laki-laki bakal nggak percaya diri kalau mau deketin kamu."
Diputar-putarnya cincin tersebut di jari manisnya. Sejujurnya cincin ini agak longgar. "Atau laki-laki bakal punya niat jahat sama aku, karena aku pakai cincin mahal," kata Arumi sambil menaikan bahu. "Siapa tau mereka ada niat buat nyuri cincin ini?"
Sebagai seorang perancang busana, Matteo kerap berkata pada Arumi bahwa apa yang dikenakan seseorang juga bisa menunjukan kualitas orang tersebut. Mungkin pikir Santoso, bila cincin mahal ini dikenakan Arumi, maka bisa menunjukan gaya hidupnya. Padahal saat ini ia masih meninggali apartemen lapuk hasil kerja kerasnya dan enggan tinggal di apartemen milik Santoso.
"Harganya berapa, Mas? Enak kali ya aku jual buat biaya hidup," candanya sembari mengelus gemilau garis perak pada cincin yang ia kenakan.
"Saya serius, Rumi. Jaga ini baik-baik," pesan Santoso, mengancingkan jaket Arumi agar melindunginya dari angin malam yang mulai berembus. "Tapi kalau kamu kurang suka model cincinnya, kita bisa ganti," ralatnya dan mendapat gelengan dari Arumi.
"Kenapa kamu tiba-tiba kasih aku cincin?"
"Sekertaris saya, dia udah nikah. Di jarinya ada cincin. Saya jadi kepikiran--"
"Cewek apa cowok?" tanya Arumi, memotong penjelasan Santoso. "Sekertaris kamu."
"Perempuan. Dewina. Teman kuliah saya dulu." Santoso menggeleng, seakan bisa membaca pikiran Arumi dan menolak semua pemikiran jelek terhadapnya. "Enggak, Dek. Percaya sama saya, Dewina itu musuh saya di bangku kuliah. Alasan saya rekrut dia jadi sekertaris karena dia punya pengalaman bekerja di kementrian. Selain itu, Dewi berani, tahan banting, selalu punya ide-ide visioner."
"Terus apa lagi kelebihan dia? Lanjutin." Nada bicara Arumi kentara tak suka. "Di Amerika aja bisa cari sekertaris cowok. Di Indonesia nggak bisa?"
"Kamu cemburu?" Santoso tersenyum, sedangkan Arumi melipat wajahnya.
"Sengaja 'kan Mas begitu? Biar lihat aku cemburu? Enggak sih. Aku nggak cemburu. Sana, rekrut aja semua cewek." Antara yang diucapkan Arumi dengan gekstur tubuhnya berbeda. Suaranya semakin meninggi, serta pandangannya enggan terkunci oleh Santoso.