Episode 49: 7 Agustus

408 62 13
                                    

Gladys uring-uringan sepanjang hari. Tak lain dan tak bukan adalah karena sejak kepulangan mereka dari Batam, Anka mendiamkannya. Dan ia paling benci dengan hal itu karena kebiasaan jelek Anka jika ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, ia langsung menyalahkan Gladys padahal jelas-jelas itu bukan kesalahan gadis itu.

Gladys seolah-olah selalu menjadi tersangka utamanya.

"Kamu kenapa bisa sabar banget sama dia, Dys?" Tanya Monik di seberang sana, heran.

Mereka berbicara via telepon saat Gladys sedang beristirahat di waktu kerjanya, menceritakan tentang Anka yang tidak ada habisnya membuat orang-orang terdekatnya gemas kepada wanita itu.

"Nggak tahu, Kak." Gladys mendesah pelan, mengusap keningnya.

"Tapi jangan terus-terusan kamu yang ngalah. Kamu nggak salah. Itukan keputusan perusahaan, bukan keputusan dan kemauan kamu." Kata Monik. "Sesekali kamu harus tegas sama dia bukan cuma urusan ranjang aja. Kamu yang tahu gimana cara handle dia waktu lagi kayak gini."

Gladys memejamkan matanya menahan lelah, lalu mengangguk walau Monik tidak bisa melihatnya secara langsung. "Orang yang keras akan luluh sama orang yang lembutin dia, bukan dikerasin balik. I got it. Tapi kadang aku juga pengen dia nggak sekeras itu sama aku, Kak. Aku pengen dia bener-bener lembut karena memang dia menghargai aku ada, bukan karena kasihan karena aku mau ngalah sama dia."

"Kakak tahu." Monik menghela nafas yang panjang. "Karin memang susah adatnya. Tapi selama kakak mengenal semua orang yang pernah menjalin hubungan sama Karin, nggak ada yang sehebat kamu dalam menenangkan dia."

Gladys sedikit tersenyum. "Jangan bikin aku besar kepala, Kak. Nanti nggak muat helm-nya."

Tawa Monik terdengar natural di telinga Gladys, mereka berdua tertawa bersama. "Dys?"

"Ya, Kak?" Entah kenapa tiba-tiba Gladys merasa deg-degan yang membuatnya dengan refleks menggigit kuku jarinya.

"Don't give up on her walau waktu akan berulang kali meruntuhkan tembok-tembok kepercayaan yang kalian bangun." Pinta Monik dengan suara yang serius.

Gladys mengatupkan bibirnya rapat-rapat, memejamkan matanya sebelum berbicara. "Bilang itu sama dia, Kak. Kalau aku, tenang aja, aku nggak akan ngelepasin dia kecuali ada orang ketiga."

"Orang ketiga tidak akan masuk kalau salah satu tuan rumahnya tidak membukakan pintu."

Gladys lalu mengakhiri sambungan teleponnya dengan Monik dan berdiam diri di ruang istirahat karyawan sendirian karena Devan memilih merokok di luar, di area parkir karyawan.

Sedetik kemudian Gladys memutuskan untuk menyusul Devan dan meminta rokok kepada pria itu. Kening Devan berkerut bingung, tumben Gladys merokok? Batin pria itu dengan bingung.

"You were fine at work, though." Ucap Devan saat menyerahkan bungkusan rokoknya kepada Gladys. "Kak Anka?"

Gladys menyulut sebatang rokok, menghembuskan asapnya sebelum mengangguk. "Keras banget kepalanya, Dev."

Devan tersenyum sebelum menghisap rokoknya. "Kemarin kayaknya baik-baik aja, deh."

"Di depan semua orang baik, kalau lagi berdua udah kayak perang dingin." Sahut Gladys, memijit pangkal hidungnya. "Sekali aja aku pengen baik-baik sama dia. Kalaupun ada masalah, kerikil aja gitu yang datang, bukan batu besar seberat 2 ton."

"Ada apa kali ini?" Tanya Devan lebih lanjut.

"Gegara minggu depan aku dipindah ke Jogja." Jawaban Gladys malah membuat Devan semakin bingung.

Daily Adventures of Anka and Gladys (gxg) (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang