Gladys memasuki rumahnya dengan tidak semangat setelah shift kerjanya berakhir. Sudah hari ketiga tanpa Anka disana. Sudah ribuan detik ia lewatkan tanpa berkomunikasi sama sekali dengan wanita itu. Dan sudah kesekian kali ia tidak tidur di kamar tidur utama.
Wangi Anka masih membekas, masih tertinggal. Seperti hatinya yang tertinggal di wanita itu. Jangankan untuk tidur disana, saat ia membuka pintu kamar saja hatinya sudah porak-poranda. Kenangan mereka sudah terlalu banyak, menimbulkan luka yang sedikit dalam jika teringat.
Gladys menjatuhkan dirinya di sofa ruang tengah, menyalakan TV tanpa berniat menontonnya, hanya agar ia mendengar suara-suara dan tidak membuat kepalanya semakin hening di dalam sana. Ia tahu Anka adalah orang yang keras kepala, dan ia juga tahu jika tidak main-main rasa sayangnya.
Pertama kalinya ia jatuh cinta kepada seorang wanita, dan wanita itu mampu membuatnya tidak berkutik saat kehilangannya. Terlalu cepat. Terlalu dalam. Dan Gladys kembali menangis seorang diri.
Pukul 10 malam saat pikirannya menggerakkan tubuhnya menuju motornya. Ia tidak bisa lagi. Ia tidak bisa lagi tetap tinggal disini berselubung seluruh neuron kenangannya bersama dengan wanita itu, menusuk relung tulang dan nadinya, menekan saraf kewarasannya setiap waktu.
Gladys menjalankan motornya menuju kota dimana ia harapkan bisa membiaskan kenangannya bersama dengan Anka. Tidak peduli dingin, ramai dan bising, Gladys sampai di kota tujuannya pada pukul hampir 2 dini hari. Selain karena ia lebih berhati-hati, pandangan matanya beberapa kali kabur karena air matanya yang menggenang.
Gadis itu kemudian memutuskan untuk bermalam di sebuah penginapan sebelum pagi harinya ia menghadap seseorang yang ia harapkan bisa dan mampu membantunya beranjak, melupakan semua kenangannya bersama dengan Anka.
Nadia sedikit terkejut saat Gladys memasuki ruangan kerjanya pada pukul 9 pagi di Seturan, Jogja. Namun mata yang sembab dan wajah yang lelah mengindikasikan sesuatu yang lain. Wanita jangkung itu duduk menyilangkan kakinya, menatap Gladys yang berkali-kali mengatur nafasnya karena gadis itu lagi-lagi menangis.
"Aku mau resign, Kak." Ucap Gladys dengan berat hati.
Nadia bergeming, ia tidak merespon, ia hanya diam menatap Gladys yang mulai sesenggukan. Lalu ia mencondongkan tubuhnya ke depan, melipat kedua tangannya di meja, terus-terusan menatap Gladys.
"Daripada itu terjadi, bagaimana kalau saya pindahkan kamu kesini?" Tanya Nadia yang membuat Gladys mendongak.
Gadis itu kemudian menggeleng. "Kakak ada kerjasama dengan dia, aku nggak mau lagi ada sangkut-pautnya sama wanita itu."
"Saya bisa cari fotografer lain." Kata Nadia, Gladys masih menggeleng.
"You befriend with her also, Kak. Like I've said, aku nggak mau ada hubungan apa-apa lagi yang menyangkut tentang dia walau aku bersyukur aku bisa mengenal Kakak dan mendapatkan ilmu dari Kakak melalui dia." Jelas Gladys.
Nadia tersenyum. "Dan kamu memilih berlari dengan cara ini?"
"Aku nggak lari, Kak. Aku hanya ingin memulai kehidupan yang baru dari awal, tanpa perlu teringat sedikitpun. Aku mau aku baik-baik aja tanpa dia. Dan kalau teringat tentang dia, aku nggak sakit lagi." Jawab Gladys, menghapus ingusnya.
Mereka terdiam cukup lama. Nadia masih terus-terusan mengawasi Gladys yang sedang sibuk menghapus ingus dan air matanya. Bahkan kehadiran Tara dan Nara pagi itu tidak cukup untuk membuat Gladys kembali ceria. Ya, karena separuh hatinya telah direnggut paksa.
"Singkirkan pikiranmu tentang pertemanan kami berdua dengan dia." Kata Nadia kemudian, setelah berdiskusi dengan Tara diam-diam. "Kamu mau pindah kemana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Daily Adventures of Anka and Gladys (gxg) (completed)
RomanceTentang kehidupan Anka dan Gladys sehari-hari ketika kehidupan baru mulai menyapa. Baca dulu "Standing With You" biar paham sama jalan ceritanya 😬 Warning: • 18+ • Lesbian (Yg homophobic silakan minggir) Inspired by: The Everyday Adventures of Sam...