30. Claim

1.6K 258 142
                                    

Malam setelah Renjun mengamuk pada Jeno, ia tak lagi mengajak Jeno berbicara, ia hanya diam selama seseorang merapihkan kekacauan yang ia buat, ia hanya melirik Jeno ketika tangannya sedang diobati, dan ia hanya menatap Jeno dengan tajam ketika melihat Jeno akan beranjak dari kamar hotel setelah luka di dahinya diobati.

Jeno yang melihat tatapan itu akhirnya berhenti berjalan dan bertanya. "Kau sudah mengizinkanku berbicara?"

Renjun bungkam, masih dengan raut marahnya.

"Kalau kau masih ingin marah padaku, lakukan." Jeno mengangguk, tanda memperbolehkan Renjun melakukan apapun padanya. "Tapi setelahnya tolong dengarkan aku berbicara."

Kali ini Renjun menghela napasnya dan melirik kembali single sofa— tempat yang Jeno duduki tadi. Meminta agar dominan itu kembali duduk disana.

"Maaf karena membiarkanmu nyaris mati." Suara Jeno lebih pelan dari biasanya, tanda ia sungguh atas maafnya.

Jeno luar biasa merasa bersalah karena tak bisa mencegah anak buah Ederd agar tak melukai Renjun, dan itulah alasan tadi ia membiarkan Renjun melampiaskan amarah itu padanya dengan cara apapun. Rasa bersalah.

"Ederd menyeretku dari tempat lelang dan aku sempat kewalahan, dan setelahnya aku tak bisa langsung menemuimu, aku harus mengejar Ederd lagi sebelum ia mengintruksikan lebih banyak orang untuk menyerang." Jelas Jeno, ia melihat Renjun yang duduk bersandar pada kepala ranjang dan matanya yang tak lepas dari Jeno.

"Dimana sekarang Ederd itu?" Tanya Renjun dingin, ia ingin tau sosok yang mengakibatkan perut dan kakinya seperti sekarang ini.

Mata Jeno bergerak menatap mata Renjun. "Ia mati."

"Kau melakukan apa padanya? Mengeluarkan isi perutnya setelah mengirisnya, atau melepas telapak kakinya dari betisnya?" Meski Renjun lega mendengar bahwa Ederd itu telah mati, tapi ia tetap menyimpan dendam karena kelakuan anak buah orang itu.

Melihat cara berbicara Renjun saat ini, Jeno menyadari bahwa anak itu tak lagi marah padanya. Renjun lebih banyak menaruh kesal pada Ederd.

"Lima tembakan di jantungnya." Jawab Jeno. "Dan aku mengirim mayatnya ke hadapan istrinya yang sedang berulangtahun."

"Manis sekali." Sarkas Renjun, setelah itu ia diam dan hanya menatap Jeno yang tiba-tiba berjalan mendekat pada ranjang yang ia tempati.

Jeno meraih lengan Renjun untuk melihat bagian dalam lengannya itu, ada warna memar di bagian itu. "Ia mencengkrammu?" Tanya Jeno dengan alis yang menukik tak suka.

"Ia lebih dari mencengkramku." Renjun menunjuk bagian kakinya yang tak tertutupi selimut— tadi Renjun mengeluh sakit ketika selimut menimpa betisnya itu, membuat bagian kaki kirinya tak ditutupi selimut seluruhnya.

"Sebenarnya apa yang Ederd kejar dengan membunuhku?" Renjun kini penasaran.

"Ederd mengatakan adik iparnya mati di tanganmu beberapa bulan lalu." Jeno menarik satu kursi agar ia bisa berbicara dengan Renjun dalam jarak yang tetap sedekat ini.

Renjun memutar bola matanya malas, sebelum kemudian ia memusatkan lagi perhatiannya pada Jeno.

"Dan kenapa kau memutuskan melawannya?"

"Aku sudah mengatakan tak akan menerima tawaran dari siapapun yang ingin membunuhmu." Jeno menjawab yakin.

"Aku juga akan memastikan kau tak dibunuh siapapun." Lanjut Jeno.

"Perutku nyaris terbelah." Sahut Renjun, caranya berbicara telah kembali meski masih ada sisa kesal di nada bicaranya.

Bahu Jeno pun yang sejak tadi tegang, kini lebih tenang dan melemas. "Aku sudah memperingatkanmu untuk tak mempercayai siapapun, termasuk aku."

Who Do You WantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang