a few years ago, in New York
Suara teriakan saling bersahutan itu kerap ia dengar, suara bentakan yang dibalas jeritan keras itu adalah apa yang sering menjadi latar suara di kediaman besar itu.
Tangannya hanya bisa memeluk dirinya sendiri di dekat ranjangnya, matanya menatap kosong jemari kakinya sementara telinganya masih bisa mendengar samar-samar pertengkaran orangtuanya.
Ia tak sepenuhnya mengerti apa yang membuat orangtuanya bertengkar, ia tak sepenuhnya ingin tau juga tentang itu. Karena ia justru berharap tak pernah mendengar bising itu, ia berharap tak mendengar semua itu. Jadi ia berusaha mencari fokus lain, dengan menatap kakinya. Mengingat hari ini berjalan-jalan kemana, mengingat tadi ia pergi kemana saja diantar sopirnya.
Tapi nyatanya tak bisa, pertengkaran itu tetap ia dengar. Karena sejak awal ia sadar bahwa keributan orangtuanya itu memang ada.
Kepalanya ia sembunyikan diantara lututnya, memeluk tubuhnya yang duduk meringkuk di ujung ranjangnya. Dan ketika tiba-tiba ia merasa napasnya terasa berat, ia mendongak panik. Ia mencoba bernapas dengan benar, tapi rasanya begitu sulit.
Air matanya jatuh, takut, panik juga sedih. Ia akan terus berada di keadaan seperti ini?
Karena nyatanya tahun-tahun berlalu dengan ia yang terus mengalami hal ini, usianya yang baru menginjak enam belas bagai berpuluh-puluh tahun ia habiskan dengan penderitaan ini. Melihat pertengkaran orangtuanya, memendam semuanya, kesulitan sendirian, dan merasakan sakit sendirian.
Dan orangtuanya seolah tak peduli dengan kondisinya, seolah tak memikirkan keadaannya saat mereka betengkar tanpa berusaha menyembunyikan itu darinya.
"Jeno, pokoknya kau harus ikut mama." Suara highheels yang beradu dengan lantai terdengar semakin dekat ke kamarnya, sementara si anak laki-laki yang bernama Jeno itu masih dalam kesulitannya mengatur napas.
Dengan susah payah, Jeno menyeret langkahnya ke kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat. Entah kenapa ia tak ingin mamanya melihat keadaannya.
"Jeno, kau di kamar mandi?" Suara mamanya terdengar sembari mengetuk pintu kamar mandi, memastikan putranya satu-satunya ada di dalam sana.
Tangan Jeno meremas celananya, sebelum menjawab susah payah. "Ya."
"Kita pergi dari rumah sekarang."
Mendengar itu Jeno tak bisa menjawab, karena nyatanya ia tak menginginkan perpisahan antara orangtuanya. Ia tak suka kenyataan bahwa orangtuanya akan berpisah.
"Kau tak bisa membawa Jeno bersamamu, ia pewarisku." Suara papanya terdengar menyusul mamanya dengan kalimat protes yang membuat mamanya balas tak terima.
Dan Jeno bisa merasakan air matanya kembali mengalir, sesaknya kini terasa makin menyakitkan. Pertengkaran yang enggan ia dengar itu kini justru semakin dekat, karena tepat ada di kamarnya dan hanya terhalang satu tembok serta pintu.
Rasa frustasinya sekarang begitu penuh memenuhi dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Do You Want
FanfictionNOREN [LEE JENO - HUANG RENJUN] ⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️ mature bxb mature dark mature