Jean membanting pintu apartemennya dengan kekuatan yang mencerminkan amarah dan kepedihan yang bercampur menjadi satu. Suara keras dari pintu yang menghantam rangkanya menggema di ruangan itu, seperti menggambarkan apa yang sedang terjadi di dalam dirinya. Ia berdiri sejenak di ambang pintu, napasnya masih memburu setelah mengemudi gila-gilaan.
Pikirannya terus kembali ke pertemuan tadi di mall. Karine berdiri di sana dengan seorang pria asing. Pria itu memanggilnya honey, dengan nada kepemilikan yang jelas. Kekasih? Apa lagi yang bisa dia pikirkan? Tidak mungkin itu hanya teman biasa. Jean merasa hatinya seakan diremas hingga tak ada lagi ruang untuk bernapas.
Saat itu, ia pura-pura menerima telepon penting, alasan klise yang biasa ia hindari. Namun, hanya itu cara tercepat untuk pergi dari sana tanpa menunjukkan perasaannya yang kacau balau. Dengan suara bergetar, ia berpamitan, meninggalkan Karine yang tampak sedikit bingung, atau mungkin justru lega? Ia tidak tahu, dan tak ingin tahu.
Sepanjang perjalanan pulang, ia memacu mobil seperti orang yang ingin melarikan diri dari kenyataan. Namun, sayangnya, kecepatan tidak bisa menyingkirkan bayangan Karine dan pria itu dari pikirannya. Setiap detik dalam perjalanan itu adalah pergulatan antara logika dan emosi, antara menuntut penjelasan atau menerima kenyataan pahit.
Di apartemen, Jean akhirnya ambruk di sofa, tangannya meremas rambutnya sendiri, mencoba menenangkan kekacauan dalam dirinya. Tapi perasaan itu terlalu kuat, menusuk, dan membuatnya sadar—apakah selama ini ia hanya sebuah pilihan, sementara Karine punya seseorang lain yang lebih ia cintai?
Sunyi melingkupi ruangan. Hanya detak jam yang terdengar, mempertegas waktu yang seolah berhenti untuk Jean.
Pintu apartemen terbuka perlahan, menampilkan Dean yang berdiri di sana dengan ekspresi campuran antara khawatir dan heran.
“Aku melihat mobilmu tadi melaju seperti dikejar setan. Ada apa, Jean?” Dean melangkah masuk tanpa menunggu jawaban, menutup pintu di belakangnya.
Jean hanya mengangkat wajahnya sebentar, lalu kembali menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Suasana di apartemen terasa berat, seolah udara di dalamnya penuh dengan kesedihan yang tak terucapkan. Akhirnya, dengan suara pelan yang hampir tak terdengar, Jean berkata, “She's already with someone else; I came in too late."
Kalimat itu menghantam Dean seperti pukulan di dada. Ia terdiam beberapa detik, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya. “Maksudmu… Karine?” tanyanya, meskipun jawabannya sudah jelas.
Dean melangkah mendekat, mengambil tempat di sofa di samping Jean. Ia mengamati Jean yang kini duduk dengan bahu merosot, pandangan tetap terpaku ke depan, seolah-olah dunianya telah runtuh. “Jean, Are you sure though? How you know?” tanyanya hati-hati, mencoba membuka percakapan tanpa memperburuk suasana.
Jean menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan, seolah mencoba menyingkirkan beban yang tak kunjung hilang. “Aku melihatnya di mall. Dia bersama seorang pria… dan pria itu memanggilnya ‘honey’,” jawabnya singkat, tetapi setiap kata mengandung luka yang mendalam. “Itu sudah cukup bagiku untuk tau.”
Dean memijit pelipisnya, mencoba menenangkan pikirannya sendiri. Ia tahu betapa pentingnya Karine bagi Jean. Selama ini, ia mendengar segala cerita tentang Karine—bagaimana Jean dengan tulus mengaguminya, mencintainya, bagaimana ia berlatih berulang kali untuk menemukan momen yang tepat untuk berbincang dengannya. Dan sekarang, semua itu runtuh hanya karena satu pertemuan tak terduga. Padahal Jean baru memulai.
“Jean,” Dean berkata dengan lembut, tetapi penuh keyakinan. “You’re still in the fight, kita tidak tau dia dan apa yang sebenarnya terjadi. Jangan menyerah hanya karena satu momen.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Past Love | bluesy
Fanfic"𝑰𝒇 𝒇𝒂𝒕𝒆 𝒌𝒆𝒆𝒑𝒔 𝒖𝒔 𝒂𝒑𝒂𝒓𝒕 𝒊𝒏 𝒕𝒉𝒊𝒔 𝒓𝒆𝒂𝒍𝒎, 𝑰'𝒍𝒍 𝒕𝒓𝒂𝒗𝒆𝒓𝒔𝒆 𝒕𝒉𝒆 𝒔𝒕𝒂𝒓𝒔, 𝒔𝒆𝒆𝒌𝒊𝒏𝒈 𝒂 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚 𝒖𝒏𝒊𝒗𝒆𝒓𝒔𝒆𝒔, 𝑾𝒉𝒆𝒓𝒆 𝒚𝒐𝒖𝒓 𝒉𝒆𝒂𝒓𝒕 𝒂𝒏𝒅 𝒎𝒊𝒏𝒆 𝒄𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒈𝒆 𝒊𝒏 𝒕𝒊𝒎𝒆𝒍𝒆𝒔𝒔 𝒅...