Dua hari sebelum wisuda, Brandon kembali menghubungi Donia. Ia masih ingat dengan jelas percakapan mereka sebelumnya, di mana dia sempat berjanji ingin hadir untuk menyaksikan wisuda Donia, meski dengan perasaan yang campur aduk. Kali ini, ia kembali membuka percakapan di chat dengan pertanyaan sederhana namun sarat makna.
"Don, kamu udah siap wisuda? Besok adalah hari pentingmu, ya?" tulis Brandon, mengirimkan pesan singkat yang penuh perhatian.
Donia yang baru saja menyelesaikan persiapannya untuk wisuda, melihat pesan itu dengan sedikit terkejut. Seperti biasa, ada rasa harap dan cemas yang bercampur di hatinya. Dia membalas pesan Brandon, namun lebih berhati-hati.
"Siap, tapi masih agak cemas aja. Terima kasih sudah ingat, Brandon," jawab Donia dengan nada ringan, meskipun hatinya sedikit bergetar.
Brandon membaca balasan Donia dan merasa ada sedikit ketegangan dalam jawaban itu. Dia tahu bahwa Donia sudah jauh lebih sibuk mempersiapkan hari besar itu, dan mungkin kesibukannya itu yang membuat Donia sedikit ragu atau cemas. Namun, di balik pesan itu, Brandon tetap merasa ada perasaan yang belum bisa ia ungkapkan sepenuhnya. Tapi Brandon hanya membaca saja tanpa membalas.
"Aku berencana untuk datang, Don. Tapi kalau kamu nggak keberatan, aku mungkin datang diam-diam saja, tanpa mengganggu acara kamu. Aku gak mau bikin suasana jadi canggung," ucap Brandon dengan hati-hati tanpa memberitahui.
Meskipun dalam hatinya dia ingin datang dan memberi kejutan, Brandon juga merasa khawatir jika kedatangannya nanti malah merusak momen Donia yang seharusnya menjadi milik dia sepenuhnya. Jadi, dia memutuskan untuk tidak memberi tahu lebih banyak, berharap bisa memberi dukungan tanpa mengganggu.
Donia membaca pesan itu, merasa ada sedikit rasa kecewa di hati. Meskipun dia ingin Brandon datang untuk melihatnya di hari penting ini, ia juga tahu bahwa Brandon cenderung menjaga jarak. Namun, dalam benaknya, dia tetap berharap bahwa Brandon akhirnya akan datang, meskipun dengan cara yang diam-diam.
Seiring waktu berjalan, hari wisuda semakin dekat. Donia mempersiapkan diri, dengan teman-temannya yang membantu menata gaun wisudanya, bercanda dan berbagi cerita tentang masa kuliah yang tak lama lagi akan berakhir.
Namun, di hati Donia, ada satu hal yang terus mengganggu kehadiran Brandon. Apakah dia akan benar-benar datang? Ataukah semuanya hanya akan menjadi harapan kosong?
Malam sebelum wisuda, Donia merasa gelisah. Di tengah persiapan, dia mencuri waktu untuk melihat ponselnya. Tidak ada kabar dari Brandon. Hatinya sedikit kecewa, tetapi dia mencoba menenangkan diri. Ia tidak ingin terbawa perasaan, walau dalam hatinya, kehadiran Brandon sangat berarti.
Hari wisuda pun tiba. Donia berdiri di depan cermin, mengenakan toga dan kebaya wisuda yang membuatnya terlihat anggun. Senyum lebar tak bisa ia sembunyikan, meski sedikit perasaan hampa tetap ada. Teman-temannya menyemangatinya, namun pikirannya tetap melayang.
Acara wisuda dimulai. Donia melangkah dengan penuh keyakinan menuju panggung, merasakan detak jantungnya semakin cepat seiring langkahnya yang semakin dekat dengan podium. Meskipun dia tersenyum dan menerima selamat dari berbagai teman dan kolega, hatinya tetap berharap untuk melihat seseorang yang sangat ia harapkan.
Namun, hingga acara selesai, dan momen lempar toga pun berlalu, tak ada tanda-tanda kehadiran Brandon. Donia merasa sedikit hampa. Ia tahu bahwa ini adalah momen besar untuknya, namun kehadiran Brandon yang tak kunjung datang membuat suasana terasa kurang lengkap. Ia menundukkan kepala, berusaha menahan rasa kecewa, tetapi tetap mencoba menikmati hari itu dengan teman-temannya.
Sambil berkumpul bersama teman-temannya, Donia tetap merasa ada yang kurang. Dia mencoba untuk tersenyum dan bersenang-senang, namun perasaan sedihnya tetap menggerogoti. Setelah acara selesai dan teman-temannya mulai berpencar, Donia memutuskan untuk berjalan ke luar dan mencari ketenangan.
Saat ia berjalan sendirian, merenung di luar gedung acara, tiba-tiba ia merasakan ada bahu yang menyentuh dengan lembut. Tanpa berpikir panjang, ia menoleh, dan matanya terbelalak. Di sana, berdiri Brandon, dengan senyum yang penuh arti. Di tangannya, ia membawa bunga, dan di belakang punggungnya, ada sesuatu yang disembunyikan.
"Brandon, kamu datang?" ucap Donia terkejut, namun juga sangat bahagia.
Brandon tersenyum, melepaskan bunga yang ia pegang dan memberikannya pada Donia. "Aku tahu aku terlambat, Don, tapi aku gak ingin kamu merasa sendirian. Aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, di momen yang penting ini. Aku minta maaf jika aku membuatmu menunggu terlalu lama."
Donia terdiam sejenak, masih terkejut dengan kedatangannya. Kemudian, dia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tanpa banyak bicara, Brandon mengeluarkan cincin yang telah ia simpan, dan dengan perlahan, berlutut di hadapan Donia.
"Donia, setelah semua waktu yang kita lewati, aku ingin bertanya lagi, apakah kamu bersedia untuk melangkah bersama, menjadi bagian dari hidupku selamanya?" tanyanya dengan suara penuh harap.
Donia menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tak bisa berkata-kata, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Aku bersedia, Brandon."
Dengan air mata yang mengalir, Donia merasa akhirnya dia mendapatkan kepastian yang ia tunggu-tunggu. Di hari wisudanya, di momen yang penuh harapan ini, semuanya akhirnya terasa lengkap.
Bersambungg...
KAMU SEDANG MEMBACA
Brandon [TAMAT]
RomanceBrandon, seorang cowok yang tak pernah tertarik pada cewek, selalu menganggap mereka ribet, cengeng, dan menjijikkan. Namun, pandangannya berubah ketika dia bertemu Donia, gadis tangguh yang memiliki sisi manja dan pemberani. Meski Donia seorang ind...