|| 100. Brandon Akhirnya Datang ||

8 2 0
                                    

Keesokan harinya, Brandon merasa cemas. Pagi itu, dia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan tatapan serius. Cincin itu masih berada di sakunya, berat seolah menekan setiap langkah yang dia ambil. Apakah ini langkah yang tepat? Apakah Donia akan menerima segala yang dia tawarkan?

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, dia tahu bahwa keraguan itu hanya akan menghambat. Apa yang dia butuhkan sekarang adalah keyakinan bahwa dia bisa memberikan sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang Donia layak dapatkan. Bukan sekadar perasaan yang tak terungkapkan, melainkan komitmen yang nyata.

Brandon menyusuri jalanan kota yang ramai menuju tempat yang sudah dia tuju. Sebelumnya dia sudah mencari tahu dimana keberadaan Donia. Dan kali ini dia ingin mengunjungi Donia. Ada banyak hal yang ingin dia katakan, tetapi yang paling penting adalah satu hal komitmen. Dia ingin Donia tahu bahwa dia serius, bahwa dia siap menjalani hidup bersama Donia, bukan hanya dalam impian atau harapan yang terpendam.

Sesampainya di sana, dia berhenti di depan sebuah kafe kecil yang biasa mereka kunjungi. Donia tidak tahu dia datang, dan Brandon memutuskan untuk memberi kejutan. Dia berjalan masuk, mengamati setiap sudut kafe dengan hati berdebar.

Donia sedang duduk di meja yang biasa, sendirian, dengan secangkir kopi hangat di depannya. Dia sedang sibuk dengan ponselnya, tampak asyik dengan dunia digitalnya. Brandon menghela napas dan melangkah mendekat.

"Donia," suara Brandon memecah keheningan. Donia menoleh, terkejut melihat kehadirannya. Mata mereka bertemu, dan seketika itu, jantung Brandon berdegup kencang.

"Brandon...?" Donia tampak kebingungan, tetapi ada senyum kecil yang tersungging di bibirnya.

Brandon mengangguk pelan, duduk di kursi di depan Donia. "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Dengan suara yang lebih tenang dari yang dirasakannya.

Donia menatapnya lebih dalam, seolah mencoba membaca apa yang ada di benak Brandon. "Apa yang ingin kamu bicarakan?"

Brandon mengeluarkan cincin itu dari sakunya, meletakkannya di atas meja, tepat di antara mereka. "Aku sudah lama berpikir tentang ini, Donia. Aku nggak ingin hanya jadi bagian dari masa lalu atau bayangan yang ada di hidup kamu. Aku ingin jadi orang yang ada di masa depan kamu. Aku ingin kamu tahu, bahwa aku serius, dan aku ingin kamu jadi bagian dari hidupku... selamanya."

Donia terdiam, matanya melebar sedikit, terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar. Brandon melihat ekspresi terkejut itu dan segera melanjutkan, "Aku nggak meminta kamu untuk langsung memberi jawaban sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu, ini adalah keputusan yang aku pikirkan matang-matang. Aku ingin mengajak kamu menikah, Donia."

Kesunyian yang mengisi ruangan itu terasa berat. Donia menatap cincin itu, kemudian kembali menatap Brandon dengan perasaan campur aduk. Bagaimana mungkin dia tidak merasa tersentuh dengan pengakuan ini, namun dalam hatinya ada pertanyaan yang tak terjawab.

Brandon memandangnya dengan penuh harap. Dia tahu bahwa Donia tidak bisa langsung memutuskan, tetapi ini adalah kesempatan pertama yang dia ambil untuk mengungkapkan perasaannya secara jujur.

"Donia, apakah kamu ... Mau memberi aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi orang yang kamu butuhkan?"

Donia menunduk, memandangi cangkir kopinya yang hampir kosong. Jari-jarinya mengusap bagian pinggir cangkir, menciptakan pola-pola tak terlihat. Hening terasa menggantung di antara mereka, membuat Brandon semakin gugup.

"Brandon," akhirnya Donia membuka suara. Tatapannya mengarah ke cincin di atas meja, lalu ke mata Brandon. "Aku nggak tahu harus bilang apa."

Brandon menghela napas pelan. "Aku nggak meminta jawaban sekarang, Donia. Aku cuma ingin kamu tahu perasaanku dan rencana yang aku punya untuk kita... kalau kamu mengizinkan."

Donia tersenyum kecil, tapi ada kilatan keraguan di matanya. "Aku nggak pernah menyangka kamu akan sejauh ini. Maksudku... kita bahkan sudah lama nggak bicara seperti dulu."

"Itulah kenapa aku datang. Aku sadar, aku nggak cukup berusaha untuk tetap ada di hidup kamu. Tapi aku mau memperbaikinya," kata Brandon tegas. Dia mencondongkan tubuh sedikit, mencoba menjembatani jarak emosional di antara mereka.

"Aku nggak mau kehilangan kamu, Donia. Aku siap menunggu, berapa pun waktu yang kamu butuhkan untuk memikirkannya," lanjut Brandon.

Donia menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Brandon... aku tahu kamu orang yang baik, dan aku nggak pernah meragukan keseriusanmu. Tapi..." Dia berhenti, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. "Ada Azhar."

Nama itu seperti palu yang menghantam hati Brandon. Namun, dia tidak membiarkan keterkejutannya terlihat. "Aku tahu."

"Aku lihat kalian kelihatan bahagia. Dan aku senang untuk itu ... Kalau memang dia bisa membuat kamu lebih bahagia daripada aku bisa," lanjutan Brandon.

Donia menggeleng, tatapannya melembut. "Azhar orang yang baik. Dia selalu ada di saat-saat aku butuh teman. Tapi hubungan kami ... Belum sejauh itu. Dan aku juga nggak tahu apakah kami akan sampai ke sana."

Brandon merasa secercah harapan di hatinya, meski ia berusaha tetap tenang. "Kalau begitu, biarkan aku mencoba. Aku nggak minta lebih dari kesempatan, Donia."

Donia terdiam lagi. Ia mengangkat cangkirnya, menyeruput sisa kopi yang kini sudah dingin. "Brandon, aku nggak mau kamu terluka karena keputusan yang nggak pasti. Aku nggak mau memberikan harapan yang mungkin aku sendiri nggak bisa penuhi."

"Aku lebih baik terluka karena mencoba daripada terus menyesal karena nggak pernah melakukan apa pun." Brandon menjawab dengan suara mantap.

"Aku tahu ini butuh waktu, dan aku akan menunggu," sambung Brandon lagi.

Donia tersenyum tipis, tetapi kali ini ada sesuatu yang lebih tulus dalam senyumannya. "Kamu nggak pernah berubah, ya? Masih keras kepala seperti dulu."

Brandon tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Dan aku nggak akan berhenti keras kepala, terutama kalau itu tentang kamu."

Donia tertawa pelan, meski tatapannya tetap serius. "Baiklah, Brandon. Aku nggak janji apa-apa. Tapi kalau kamu yakin, aku nggak akan langsung menutup pintu untuk kamu."

Itu sudah cukup bagi Brandon. Ia mengangguk perlahan, merasa beban di hatinya sedikit terangkat. "Itu saja yang aku butuhkan, Donia."

Setelah percakapan itu, mereka menghabiskan waktu dengan bicara tentang banyak hal lain. Mengenang masa lalu, saling bertukar cerita tentang apa yang terjadi dalam hidup masing-masing. Meski ada ketegangan yang tersisa, malam itu menjadi awal baru bagi Brandon untuk menunjukkan bahwa dia benar-benar serius.

Bersambung...

Brandon [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang