KILASAN MASA LALU SERA
Kota telah berubah menjadi puing-puing dan reruntuhan. Bangunan-bangunan yang dulunya megah kini hancur berkeping-keping, dengan dinding yang retak dan jalanan dipenuhi pecahan kaca dan sisa-sisa kehancuran. Asap tipis masih mengepul dari beberapa sudut, langit tampak kelabu, menyelimuti kota hancur dengan suasana yang muram.
Di antara reruntuhan itu, Sera berjalan dengan langkah yang tenang, wajahnya menunjukkan sedikit kelegaan meskipun penuh kelelahan. Dia mengenakan pakaian lusuh, dengan senyum tipis di bibirnya. Tangannya menggenggam erat sepotong roti yang ia dapatkan dengan penuh usaha.
Sera akhirnya tiba di sebuah tenda kecil yang berada di sudut kota, tersembunyi di balik reruntuhan beton. Tenda itu tampak sederhana, hanya terbuat dari kain dan beberapa tiang penyangga, hampir runtuh. Di dalamnya, seorang anak perempuan kecil dengan rambut acak-acakan duduk sambil memeluk lututnya. Wajahnya yang polos menoleh ke arah pintu tenda saat mendengar suara langkah Sera.
"Kakak!" seru adiknya dengan suara gembira, meskipun matanya terlihat lelah.
Sera tersenyum lembut, meski kelelahan tergambar jelas di wajahnya. Dia berlutut di depan adiknya dan mengulurkan roti itu. "Ini, makanlah. Kakak berhasil mendapatkannya untukmu."
Adik kecilnya menerima roti itu dengan mata yang cemas, menyadari betapa sulitnya mendapatkan makanan. "Terima kasih, Kak Sera," ucapnya, "Tapi apakah kakak juga sudah makan?" lanjutnya
Sera mengusap kepala adiknya dengan penuh kasih sayang, "Sudah, kamu makanlah. Kakak akan baik-baik saja."
Namun, adik kecil Sera tetap membagi roti itu menjadi dua, lalu memberikan setengahnya kepada Sera. "Kakak juga harus makan. Aku tidak ingin kakak sakit karena aku, terlebih kakak butuh tenaga lebih sebagai bahan eksperimen, ini juga demi aku," ucapnya dengan suara lembut.
Sera menerima bagian roti itu, namun mengambil bagian yang lebih kecil. "Terima kasih, adik. Kakak akan makan ini," ucapnya sambil tersenyum. Meski begitu, Sera sebenarnya ingin adiknya mendapatkan lebih banyak makanan, karena dia tahu betapa sulitnya mendapatkan makanan.
Setelah mereka makan, Sera dan adiknya duduk di depan tenda, mengamati bangunan-bangunan yang telah hancur di sekitar. Sera memeluk lututnya, sementara adiknya duduk di samping.
"Kak, soal eksperimen itu..."
"Iya, kenapa?"
"Apakah kakak yakin?"
Sera terdiam sejenak, menahan napas. "Mau bagaimanapun, ini adalah jalan yang harus kita pilih."
"Aku tau, tapi mereka yang melakukan eksperimen demi mendapatkan kekuatan, mereka tidak bisa hidup lebih dari 5 tahun. Aku takut, aku tidak mau kehilanganmu." Adiknya menunduk, suaranya bergetar.
"Lihatlah bangunan-bangunan yang hancur ini. Semuanya hancur, disebabkan oleh para selvian. Mereka datang, menghancurkan segalanya tanpa ampun. Kalau kita tidak berani mengambil resiko ini, kita tidak akan pernah bisa melawan mereka."
Adik Sera hanya mendengarkan, air matanya mulai mengalir. "Aku cuma, aku hanya ingin kita bisa hidup tenang lagi. Aku tidak ingin kehilangan orang-orang yang aku cinta. Ibu dan Papa telah pergi untuk selamanya, semuanya juga sudah pada pergi, dan kini hanya tinggal kakak seorang. Aku tidak ingin kehilangan kakak."
Sera terdiam, mengusap kepala adiknya dengan lembut. "Andai saja ada cara lain. Tapi ini satu-satunya jalan. Kakak ingin kita bisa hidup tenang seperti dulu, tapi dunia tidak memberi kita pilihan."
Adiknya terisak, tubuhnya bergetar karena tangis. "Aku tidak mau sendirian..."
Sera menarik adiknya ke dalam pelukan erat. "Aku tahu. Tapi selama kita masih bersama, kita tidak benar-benar sendirian. Kita harus kuat, di dunia yang kejam ini."
YOU ARE READING
ABYSS, NEW WORLD ORDER
Ciencia FicciónSetelah kehancuran perang dunia ketiga, Abyss lahir sebagai Negeri Para Genius, sebuah negara dan lembaga pendidikan, menjadi pusat bagi mereka yang ingin menguasai dunia melalui ilmu pengetahuan. Hanya terbaik yang bisa masuk dan menjadi Selvian. D...