3

29 0 0
                                    

Bandung, November 2007

Napas Arlyn mulai tersengal-sengal karena telah berlari cukup jauh. Bebang dipundaknya, membuat langkahnya begitu lambat. Tumpukkan buku-buku paket untuk mata pelajaran IPA hari ini membuatnya kelelahan.

Sesekali dilirknya jam tangan digital usang di lengan kirinya dan kepanikan semakin melanda. Pukul 07.05, harapannya untuk dapat datang tepat waktu pupus sudah. Kesempatannya untuk dapat melalui gerbang sekolahnya terlah berakhir. Tapi, Arlyn masih terus berlalu mengejar harapan kosongnya.

Peluh di keningnya, tidak mengurungkan niat dan tekadnya untuk membentuk harapan lain. Pak Amin, penjaga sekolah yang juga dekat dengannya, diharapkannya dapat membantu dirinya untuk lolos melewati gerbang.

"Duh, Nak Arlyn, kumaha iye teh1? Teu bisa asup deui, Neng,2" ujar Pak Amin dengan logat sundanya.

"Yah, Bapak. Saya, kan, hanya telat lima menit, Pak. Bolehlah, Pak," pintanya lagi. Arlyn menatap gerbang didepannya dengan pilu. Dia sekarang berada didepan pintu gerbang bercat hijau tinggi. Tapi dia tidak dapat masuk ke dalamnya.

"Hapunten atuh, Neng3. Bapak, ngan ngajalankeun tugas hungkul4."

"Hm," dengan berat hati, Arlyn akhirnya menyerah dan menyerahkan nasib setelah setengah delapan nanti pada guru piket.

Dengan langkah gontai, Arlyn meletakkan tasnya pada tembok disamping gerbang sekolahnya. Dia hanya dapat menunggu sekarang.

Dibukanya HP yang sedari tadi terus bergetar. Sebuah SMS dari Davina, yang menanyakan keberadaannya saat ini.

Aku d dpn sekolah. Telat.

Tidak sampai semenit, SMS balasan Arlyn segera terkirim pada sahabatnya yang tengah berdiri diruang ganti.

Arlyn melayangkan pandangannya menatap lingkungan sekolahnya yang sepi. Tidak ada siswa lain disana selain dirinya. Dan kekecewaan itu mulai menghinggapinya.

"Telat?" Arlyn yang baru saja akan bersila disamping tasnya, kembali menegakkan dirinya dan menatap Tristan yang sidah berada disampingnya.

Antara senang, bingung, dan malu, Arlyn menatap Tristan lekat. Diperhatikannya sosok tinggi didepannya itu dengan masih menggunakan ransel sekolahnya.

Ka Tristan telat juga? Tanya Arlyn dalam hati. Jantungnya kembali berdetak, setiap kali dia berhadapan dengan cowok itu.

"Mau masuk sekarang atau nunggu guru piket?"

Pertanyaan Tristan yang santai dan sederhana itu, membuat Arlyn terbelalak kaget tidak percaya mendengarnya. "Sekarang? Gimana bisa?" tanyanya ragu.

Tristan melayangkan pandangannya melalui puncak kepala Arlyn, melihat keadaan didalam sekolahnya. Pak Amin sedang tidak ada. Mungkin saja beliau sedang pergi kesuatu tempat. Dan tidak ada seorang guru pun yang berlalu lalang didalam sana.

Kembali Tristan menatap Arlyn yang tampak kebingungan dengan ajakannya itu.

"Ayo, ikut," ajaknya lagi. Mereka berdua memutar arah dan mengendap-endap melewati tembok disamping sekolahnya.

Sebelumnya, Arlyn tidak pernah tau kalau ada jalan lain yang dapat digunakan untuk masuk ke dalam sekolah. Dan sekarang dengan mengikuti Tristan, mereka telah tiba dibagian belakang sekolah. Tempat jajaran kantin-kantin berada.

Tristan memperhatikan kembali keadaan disekitarnya, demikian pula dengan Arlyn. Didepan mereka sekarang, sebuah tembok besar menanti. Arlyn tidak tau pasti apa yang akan dilakukannya. Tapi melihat sebuah pohon tinggi yang tidak jauh dari mereka, membuat Arlyn dapat membayangkan sesuatu yang mungkin saja mereka lakukan.

No ChoiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang