Bel istirahat baru saja berbunyi. Dan dengan segera semua siswa bergegas keluar dari kelas mereka menuju ke kantin untuk mengisi perut mereka. Suasana istirahat siang selalu menggemabirrakan apalagi bersama dengan sahabat. Namun, lain halnya dengan Davina setelah lama menjauh dari Arlyn, mereka kini harus mau jalan ke kantin sendirian.
Sambil menatap layar ponselnya, Davina terus berjalan menuju ke kantin, hingga tidak menyadari kehadiran seseorang yang sedang menatapnya.
"Hai, Dav." Sapaan hangat yang sangat di kenal Davina dan yang sangat dirindukannya. Setiap hari setiap saat hanya suara ini yang ingin didengarnya, sampai saat ini. Davina mengangkat wajahnya dan menatap Fabian yang sedang berdiri dengan senyuman ramah di wajahnya.
"Hai," balas Davina.
Sejenak mereka terdiam dan saling melempar senyum setelah lama terdiam karena kekerasan kepala mereka. "Gimana kabar lu?"
"Baik."
Terlihat raut wajah ragu dari Fabian, tapi dia tidak dapat menyimpan pertanyaan ini sendirian dalam dirinya. Dia begitu penasaran. "Arlyn?" ujarnya pelan.
Senyum yang tadi mengembang jernih dari wajah Davina berubah menjadi tampak sangat kaku dan berbagai tekukan tampak di wajahnya. "Gue mau ke kantin."
"Dav!" panggil Fabian saat Davina berjalan pergi meninggalkannya begitu saja. Tidak berhasil menahan Davina dengan teriakannya, Fabian ikut berlari kecil mengejarnya dan berusaha menahannya untuk mendapatkan sebuah informasi.
"Dav," Fabian duduk didepan Davina yang sedang meminum jusnya dengan santai. Seolah tidak peduli dengan kehadiran Fabian seperti awal pertemuan mereka, Davina menyibukkan diri dengan ponsel ditangannya.
"Gue bingung, kenapa lu seperti anak kecil, sih?" ucapnya mulai putus asa.
Mendengar ucapan Fabian yang menurutnya salah tempat, Davina terpancing untuk menatap cowok didepannya dengan kesal.
"Anak kecil? Bi, sepertinya lu salah. Siapa anak kecil disini?"
"Lu! Siapa lagi?"
"Dude! Dengar! Lu nggak berhak ngomong seperti itu. Lu nggak tahu apa-apa! Dan jangan ikut campur!"
Davina siap berdiri meninggalkan Fabian tapi lengan besar Fabian menarik tangan Davina hingga dia terduduk kembali.
"Kita belum selesai!"
"It's over!" Davina menatap mata Fabian dengan tajam. Dan membiarkan cowok itu marah padanya.
Sebentar Fabian menarik napas dalam dan menahan emosinya. Dirasa tidak berhasil berbicara dengan baik pada Davina, Fabian berusaha untuk menenangkan dirinya dan menatap Davina dengan lebih lembut. "Dav, lu, Arlyn, sahabatan udah sejak SMP. Dan sekarang kalian marahan dan tanpa bicara hanya karena sebuah masalah yang nggak jelas. Apa menurut lu ini baik?" Davina siap membuka mulutnya melancarkan pembelaan namun, Fabian terus melanjutkan kalimatnya tanpa ingin memberikan kesempatan pada cewek cantik didepannya.
"Lu selalu nyebut Arlyn anak kecil. Tapi kalau jadinya seperti ini, kalian sama saja. Nggak ada bedanya."
"Lu nggak tahu apa-apa."
"Karena lu nggak cerita."
"Buat apa gue cerita? Bukannya lu lebih senang dengar cerita dari Arlyn? kenapa sekarang lu ingin dengar cerita dari gue?"
"Dav, kalau gue hanya dengar cerita dari Arlyn, gue hanya akan menganggap dia benar dan lu salah. Dan..."
I can't be close with her...
Davina memicingkan matanya mencoba mendengarkan apa yang menjadi kalimat terakhir Fabian.
"Lu bisa cerita apa aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
No Choise
Teen FictionBagaimana jadinya kalau cewek yang kamu suka adalah cewek yang membuatmu menderita seumur hidup, melupakan jati dirimu, dan berpura-pura menjadi orang lain demi menyenangkan banyak orang?