48

8 0 0
                                    

Bandung, Agustus 2009

Setelah kejadian di rumah Tristan, Arlyn memutuskan untuk menetapkan hatinya dan mengubur semua cerita lamanya. Tentang Fabian dan mungkin juga tentang Tobias. Dia hanya ingin menyayangi Tristan seorang. Tapi menjalani hubungan dengan Tristan tidaklah mudah. Dia harus mau mengikuti permainan yang terjadi dalam kelaurga Tristan.

Samantha, ibu Tristan, mengalami depresi setelah pemakaman Tobias, dan akhirnya dia menganggap bahwa Tristan itu adalah Tobias. Tidak sampai hati membiarkan ibu yang melahirkan tersiksa seperti itu, Tristan memutuskan untuk menerima semuanya dengan konsekuensi dia memainkan dua peran sekarang. Di rumah dia sebagai Tobias dan di luar rumah dia sebagai Tristan.

Tidak hanya Tristan, tapi semua anggota keluarganya pun melakukan hal yang sama. Tidak ingin menambah kepedihan hati Tristan, Arlyn menyetujui smeua permainan itu. Masih ada rasa penyesalan yang mendalam yang membuat Arlyn akhirnya mau melakukan semuanya ini.

Tapi, toh ini tetap ada baiknya juga.

"Lyn, kamu nggak apa-apa?" tanya Davina yang tengah menatapnya nanar. Setelah mendengar semua cerita Arlyn, Davina merasa sahabatnya terlalu banyak menyalahkan dirinya sendiri. Padahal semuanya itu tidak seutuhnya kesalahannya.

"Nggak apa. Memangnya kenapa?" balik Arlyn yang bertanya heran pada sahabatnya.

"Lyn, semuanya itu bukan salah kamu juga. Kalau memang semuanya harus terjadi, itu semuanya adalah takdir!"

"Ka Tristan juga ngomong seperti itu, kok." Arlyn dengan tenang menatap Davina yang tampak kesal melihat pilihan Arlyn. "Dan aku memang sayang sama dia," ucapnya mencoba meyakinkan Davina.

"Nggak itu bukan sayang! Kamu tuh hanya merasa bersalah, dan akhirnya kamu mau ngelakuin semua ini! Lyn, dengerin, ya. Semakin kamu mencoba untuk melakukan semuanya ini yang ada bukan hanya kamu yang sakit, tapi Tristan juga!"

Mendengar ucapan Davina, Arlyn terdiam sejenak. Tapi pikirannya tetap membenarkan apa yang sedang dilakukannya.

"Lyn, coba kamu pakai hati. Pasti hati kamu nggak bakalan mau kamu ngelakuin semua ini." Arlyn masih terdiam. Dia masih mencoba berpikri. Davina mulai tampak senang saat melihat reaksi Arlyn.

"Nggak. Apa yang aku lakuin sekarang itu udah bener. Ok, Davina cantik!" Arlyn segera berlalu keluar dari kamarnya untuk mengambil cemilan yang sudah dibelinya kemarin.

"Arlyn, dengerin! Itu semua nggak bener! Arlyn!!!" teriak Davina kesal. Tapi Arlyn telah berlari terlebih dahulu dari kamarnya, menghindari celotehan Davina.

Davina mencoba mengejar Arlyn yang berlari cepat menuruni tangga.

"Arlyn!" sapa Edgar dan Leon barengan saat melihat Arlyn berlari turun cepat dari kamarnya.

"Ngapain lari-lari sepeti itu?" tanya Leon bingung.

"Lagi main kucing-kucingan sama Davina, Ka. Nih kucingnya!" tunjuk Arlyn pada Davina yang baru saja tiba di sampingnya.

"Kalian ada-ada aja," tegur Edgar sambil tersenyum geli.

"Hah? Apa? Kucing? Enak aja!" Davina menjitak kepala Arlyn keras saat sadar akan ucapan sahabatnya. "Yang sebenarnya terjadi adalah aku sedang menyadarkan sahabatku yang entah kenapa akhir-akhir ini otaknya terserang penyakit serius yang tidak bisa membedakan mana yang namanya cinta dan yang namanya rasa bersalah!" ucap Davina panjang lebar.

Edgar dan Leon yang tidak mengerti hanya saling pandang melihat mereka berdua.

"Udah, Ka, nggak usah didengerin. Biasa lagi laper. Iya, kan, Davina cantik?" tanya Arlyn sambil berlalu meninggalkan mereka.

No ChoiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang