Hampir pukul dua belas malam, Arlyn baru kembali pulang ke rumahnya. Di depan gerbang rumahnya, Arlyn memperhatikan lampu rumahnya yang masih menyala dengan terang. Tanpa berniat mengganggu Arvel yang dapat dipastikan dia sedang menunggunya pulang, Arlyn melangkah perlahan masuk ke dalam rumah.
Suara tv terdengar jelas meskipun Arlyn masih berdiri jauh di depan pintu.
"Baru pulang?" tanya Arvel yang mendengar pintu berderek terbuka.
"Iya, Bang."
"Tristan nggak nganterin?"
"Tadi aku suruh langsung pulang. Soalnya udah malam." Memang benar, Arlyn menyuruh Tristan segera pulang. Dia tidak ingin Tristan bertemu dulu dengan Arvel. Arlyn ingin Tristan menemani Samantha di rumah sakit.
"Ada yang nungguin, tuh."
Arlyn yang baru mengangkat kakinya naik ke atas tangga berhenti sejenak sambil menatap Arvel dengan bingung. "Ada di kamar kamu, tuh!" ucap Arvel tanpa menunggu pertanyaan Arlyn keluar dari mulutnya.
Tidak banyak bertanya lagi, Arlyn bergegas ke kamarnya untuk menemui siapa yang telah rela menunggunya hingga semalam ini.
"Davina?" pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya saat dilihatnya Davina yang tengah berbaring dikasurnya. Berbeda dari ucapan Arvel. Davina tengah tertidur sekarang.
"Capek nungguin, kali, ya?" tanya Arlyn yang tersenyum kecil dan langsung merebahkan dirinya yang cukup lelah sepanjang hari ini.
***
"Bangun!!! Udah siang, nih!!!!" suara cempreng Davina di pagi hari yang indah ini, membuat tidur lelap Arlyn terganggu.
"Aduuuuh, Dav!!!!!!" teriak Arlyn kesal.
Tapi usaha Davina belum juga selesai. Dia masih membangunkan sahabatnya yang masih terpejam karena lelah.
"ARLYYYYYN!!!!" teriak Davina lagi. Arlyn masih menarik selimutnya setinggi dagu dan memeluk gulingnya dengan erat.
"BANGUUUUUNNNN!!!!" teriak Davina lagi.
"Davina!!!" Arlyn yang sudah tidak sabar menahan gangguan Davina yang menarik selimut dan gulingnya cepat akhirnya terduduk lemas di tempatnya dan mengucek matanya yang masih sangat lelah. "Ngantuk, tahu!" bentak Arlyn.
"Bangun! Kita perlu bicara," suara Davina terdengar lebih serius dari saat dia membangunkannya.
"Tapi nggak perlu sekarang juga, kan? Ini masih pagi. Aku masih ngantuk..."
"Nggak! Kita harus bicara sekarang!" Davina melipat kakinya di atas tempat tidur Arlyn sambil menatap mata sahabatnya itu dengan tajam. Melihat mata Davina, Arlyn akhirnya menyerah dan duduk dengan serius sambil menunggu Davina bicara.
"Kemana aja kemaren?"
"Ke rumah sakit."
"Kamu lupa kalau kemaren Bixbite tampil?" suara Davina tidak hentinya mengeluarkan kalimat pedas dan judes.
"Nggak. Aku nggak lupa," jawab Arlyn takut. Ternyata Davina membangunkannya sepagi ini haanya untuk membalas masalah ini. Mengerti arah pembicaraan yang hanya membuatnya duduk mendengarkan ceramah Davina, Arlyn mulai bersikap ogah. "Davi, kalau kamu hanya mau bahas kenapa semalam aku nggak datang, tunggu setengah jam lagi. Aku mau nuntasin tidur dulu. Gimana?" tanpa menunggu jawaban Davina, Arlyn kembali memeluk gulingnya dengan sangat erat.
"Nggak!" tangan Davina yang panjang menarik tubuh Arlyn agar mau duduk kembali dan mendengar ucapannya. "Lyn, kali ini aaku beneran kecewa sama kamu."
"Kenapa, sih? Dav, ini masih pagi kenapa kita harus berantem seperti ini?" tanya Arlyn kesal.
"Jelas gue marah. Lo udah janji sama Fabian kalau lo bakalan datang saat Bixbite manggung kemaren. Dan lo udah maksa gue, Arvel, dan yang lainnya untuk ikut datang! Tapi lo nggak datang!!! Lo keterlaluan tahu nggak!" ucapan Davina sontak membuat Arlyn merasa bersalah dengan perbuatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Choise
Teen FictionBagaimana jadinya kalau cewek yang kamu suka adalah cewek yang membuatmu menderita seumur hidup, melupakan jati dirimu, dan berpura-pura menjadi orang lain demi menyenangkan banyak orang?