38

5 0 0
                                    

Bandung, Maret 2009

Derasnya hujan di penghujung bulan Februari membuat suasana dalam kamar Tristan dingin dan sepi. Kebisuan dan kegelapan malam menemaninya. Sesekali dipandanginya lagit luar dari kaca jendelanya ditemani kilatan terang halilintar dengan suara gemuruh besarnya.

Matanya belum juga terpejam sejak dua jam yang lalu. Tangannya masih erat memainkan ponselnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya tapi yang dia dapat mengerti ialah, seorang gadis telah mengacaukan dunianya.

Dunia yang dulu dianggapnya tidak akan pernah porak-poranda hanya karena makhluk Tuhan yang bernama perempuan, kini dia harus menerima takdirnya yang sedang terikat bersama sosok perempuan manis berlesung pipi.

Pabila kutatap penglihatan batinku

Nampak di dalamnya bayangan dari bayangannya,

Dan pabila kusentuh hujung jemariku

Terasa getaran kehadirannya.

Perilaku tanganku saksi bisu kehadirannya,

Bagai danau tenang yang memantulkan cahaya bintang-bintang bergemerlapan.

(Nyanyian Sukma, Khalil Gibran)

Hanya puisi cinta indah yang dapat didengarnya saat ini. Dengan mata terpejam dan menerawang jauh memikirkan siluet indah yang mencuri hatinya, Tristan mencoba menjatuhkan dirinya lebih dalam pada nuansa indah cinta yang berhasil diraihnya kini.

"Gue rasa ini gila!" ujar Tristan dengan sedikit putus asa namun penuh harapan pada Marco yang baru saja datang dan membawa segelas es jeruk padanya.

Tidak dapat menahan apa yang sedang mengganggu pikirannya saat ini, Tristan mencari Marco yang diyakininya mampu memberikan sebuah petunjuk untuknya.

"Lalu?" Tristan mengangkat wajahnya bingung menatap cowok berkulit coklat dan berbadan tegap didepannya. Dihembuskannya napas panjang tidak tahu harus berkata apa.

"Bukan dia seharusnya."

"Seharusnya?" ulang Marco bingung. "Tan, siapa yang membuat keharusan itu?" Tristan kembali mengangkat wajahnya menatap mata Marco yang menatapnya menunggu sebuah jawaban singkat dari sahabatnya. "Nggak ada yang pasti di dunia ini. Dan nggak ada yang pasti dalam hal hati." Sebentar Marco berhenti untuk melihat Tristan yang masih menunggu penjelasan darinya. "Lu boleh bilang kalau lu nggak akan suka dia, dulu! Tapi, sekarang? Jangan kan lu, gue aja nggak bisa!" Kening Tristan mengerut masih belum mengerti ucapan sahabatnya. "Hanya hati lu yang bisa bilang apa lu boleh mencintainya atau nggak."

"Tapi ini salah, Co."

"Salah?" Tristan mengangguk pelan. "Bagian mana? Kenapa gue nggak lihat salahnya," ujar Marco lagi. Tristan hanya dapat menelan ludahnya mendengarkan kalimat Marco.

"Salah karena gue..."

"Karena lu mencintai cewek yang dicintai saudara lu?" Tristan mengangguk dengan lemas kembali. Seluruh tubuhnya lemas memikirkan hal ini. Kehadiran Arlyn dalam hidupnya ternyata mampu membawa perubahan seperti ini padanya. Dan saat ini dia hanya mampu memikirkan gadis itu.

"Ini." Marco memberikan sepucuk surat pada Tristan yang tampak lusuh dan usang. Beberapa tulisannya seperti terhapus karena air. Dengan bingung dan heran, Tristan mengambil surat itu dari Marco dan membukanya.

Matanya tampak membulat lebar terkejut menyadari tulisan siapa yang ada pada surat tersebut. Dengan mulut yang tak mampu untuk berucap Tristan menatap surat tersebut dalam waktu yang lama dan akhirnya dia membaca sekata demi sekata, sebaris demi sebaris dari surat itu.

No ChoiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang