5

22 0 0
                                    

"Dav, aku lapaaaar!!!" teriak Arlyn tidak sabar saat melihat Davina masih duduk ditempatnya dan sibuk memindahkan semua tulisan di papan tulis ke dalam catatannya. "Davina!!!" teriaknya lagi.

"Aduh, Arlyn be patient, please. Ok?" ujarnya masih sambil sibuk membulak-balikkan kepalanya dari papan dan buku tulis.

"Dav, aku bener-bener lapar, nih!" ujarnya kesal. Mukanya merah menahan rasa lapar dan marah.

"Ya, sudah ke kantin duluan aja."

"Apa?" Arlyn membelalak kaget mendengar ucapan Davina. Dia tidak menyangka kalau sahabatnya yang cantik ternyata otaknya mengalami amnesia sesaat. "Itu akan aku lakukan, kalau kamu tidak menahan tanganku seperti ini!"

Arlyn menunjukkan lengan kanannya yang terus dipegang oleh Davina dan disembunyikannya didalam laci meja kelasnya. Dan ini merupakan salah satu cara paling ampuh yang digunakan Davina untuk menahan sahabatnya tetap berada disampingnya, hingga dia selesai melakukan keinginannya.

Tidak berhasil mendapatkan reward dari apa yang telah diungkapkannya untuk menyadarkan sahabatnya pada apa yang telah dilakukannya, Arlyn meletakkan kepalanya diatas meja belajarnya dan memutuskan menerima nasibnya kali ini.

"Seharusnya, kamu nggak tidur waktu Bu Mia ngejelasin," gerutunya kesal. "Sekarang, aku harus rela nungguin kamu disini. Ah, BT!!" teriaknya kesal.

"Keep silent, plese. Aku sedang sibuk sekarang, jadi nggak bisa dengerin semua ocehan kamu sekarang."

Arlyn melotot kesal pada sikap Davina yang selalu seenaknya.

"Ok, selesai!" teriaknya senang. Davina meletakkan pulpennya diatas buku Biologinya yang telah tertutup. "Arlyn, dengerin ya. Suara Bu Mia itu kecil banget, mana mungkin aku bisa betah denger suara seperti itu." Davina menatap lurus pada sahabatnya yang sedang terbaring tidak berdaya. "Bayi aja bakalan tertidur pulas dengerin suara Bu Mia."

"Up to you! I'm hungry! Very very hungry!" ujarnya lagi sedikit merajuk.

Tidak tahan melihat wajah memelas Arlyn yang seperti itu, Davina akhirnya menarik tangan Arlyn yang sedari tadi digenggamnya. Dan dengan sebuah senyuman kemenangan, Arlyn berlari-lari kecil menyejajari langkah Davin, mengikutinya ke kantin.

Sekarang dia tidak perlu lagi merasa terancam karena bahan bakarnya akan segera terisi penuh. Dan dia akan dapat melakukan apapun lagi.

Davina yang melihat bagaimana Arlyn setengah berlari dan melompat disampingnya, tertawa geli sendirian. terkadang dia sendiri bingung degan keberadaan Arlyn. Dia lebih mirip seperti seorang bocah perempuan kecil, dari pada siswi SMA.

Tapi tawanya tertahan begitu saja, begitu matanya melihat pemandangan yang sama seperti yang dilihatnya beberapa hari yang lalu. Tangannya yang terus memegang lengan Arlyn, membuat dia ikut terhenti dan menatap Davina dengan bingung.

"Ada apa, Vin?"

Davina tidak langsung menjawab tapi menatap lurus kesatu arah. Arlyn ikut memperhatikan siapa yang menjadi perhatian Davina saat ini.

Tepat didepan mereka, dalam jarak kurang dari tiga meter, dia dapat melihat kembali Tristan dan Diera tengah berjalan berdua setelah selesai membeli beberapa makanan ringan dan minuman disalah satu tempat jajan.

Merasa pemandangan didepannya, dapat mengancam posisinya untuk mendekati Tristan, Arlyn memasang wajah kesal dengan pipi yang mengembung tebal mengumpulkan angin. Matanya membulat menunjukkan warna coklat terangnya.

"Kenapa, sih, dia harus selalu jalan sama Ka Diera?" ujarnya kesal.

Davina sekilas menatap sahabatnya tidak menduga ucapannya akan seperti itu. "Terserah dia. Lagipula, Ka Diera memang cantik, kan?"

No ChoiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang