8

11 0 0
                                    

Davina mengurung dirinya sejak pagi dikamarnya. Dia tengah sibuk menumpahkan semua ide ceritanya pada sebuah buku tulis baru. Cacatan tangannya terlihat sangat rapi dan tersusun dengan indah.

Karyanya memang tidak pernah dipublikasikan. Dia membuat dan menyimpannya untuk memuaskan keinginan hatinya. Tapi, dia cukup puas dengan semuanya. Semua cerita yang berhasil dibuatnya selalu menjadi pelariannya saat dia sedang mengalami kepenatan dalam belajar.

"Davina!!!!" panggil Arlyn yang baru saja datang dan menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar Davina.

Dengan cepat, dia menutup bukunya dan meletakkan pulpennya begitu saja. Dia tidak ingin siapapun tahu tentang hobinya itu.

"Arlyn, ngapain kamu ke sini?" tanyanya panik.

Tangannya sibuk merapikan semua buku pada rak buku ditempatnya saat melihat Davina berjalan masuk dan mengambil tempat duduk diatas tempat tidurnya.

"Mau main. Emangnya nggak boleh?" tanya Arlyn cuek. Dilepaskannya tas selempangnya begitu saja diatas tempat tidur Davina.

Sebelum dapat melanjutkan pembicaraannya, Davina memutar tempat duduknya sehingga dapat berhadapan dengan sahabatnya. "Bukan. Aku hanya kaget aja, kita baru libur sehari, tapi kamu udah nongol dikamarku."

Cengiran lebar Arlyn membuat Davina tidak kalah mengembangkan senyumannya. Ada perasaan lega saat mengetahui Arlyn tidak memperhatikan apa yang sedang dilakukannya tadi.

"Lagi apa, Dav. Kayaknya tadi kamu sibuk banget?" tanya Arlyn lagi. Kali ini dia menarik kakinya dan bersila diatas tempat tidurnya.

"Lagi beresin buku. Ada apa, sih?" Davina tidak sabar melihat Arlyn yang sedari tadi mencoba mengorek informasi seputar kegiatannya.

Dan lagi sekarang, pikirannya sedang berkhayal memikirkan berbagai macam adegan yang dapat ditulisnya, bila Arlyn tidak mengunjunginya hari ini.

Arlyn yang merasa kehadirannya sedang tidak diinginkan saat ini, paham benar dengan gelagat aneh Davina. Dia sedang melakukan sesuatu. Dan dengan sangat yakin, dia sedang tidak membutuhkan siapapun mengganggunya hari ini.

Arlyn menghela napas panjang-pendek, karena merasa dia harus segera menyelesaikan kunjungannya hari ini.

"Ok, aku tahu dengan pasti sekarang. Kalau Davina Intan seberat 65 kg, sedang tidak ingin diganggu, jadi saya akan lanjut ke tujuan utama." Sekali lagi Arlyn menarik napas dalam diiringi senyum geli Davina, mendengar nama panjangnya yang baru.

"Beras kali..."

"Biarin!" jawab Arlyn lagi. Kembali Davina memasang wajah serius saat melihat Arlyn sudah memasang gaya seorang pengacara andalannya, Ruhut Sitompul. "Berdasarkan ajakan seseorang beberapa hari yang lalu, saya mau mengajak Davina Intan seberat 65 kg, pergi ke konser band indie pada malam natal." Senyumannya mulai mengembang kembali saat menyelesaikan kalimatnya.

"Nonton konser?!" tanyanya tidak percaya.

"Iya, gratis... tis... tis... tis... Makanan dan minuman, ditanggung Fabian Pratama Putra!"

"Fabian?" Kali ini sebuah senyuman bahagia tersungging diwajah Davina. Arlyn yang paham dengan arti senyuman itu, mengangguk dengan mantap.

Mata coklatnya mengerling saat menunggu jawaban dari Davina. "Jadi?"

Tapi, tidak lama setelah semua senyuman diwajahnya itu terbit. Sebuah aura kekecewaan dan penyesalan menghinggapi mereka. Arlyn yang sedari tadi begitu bersemangat, menjadi berubah seketika. Dia sangat paham dengan semua ekspresi yang baru saja terbit itu.

"Aku pengen banget, Lyn. Tapi..."

Arlyn hanya diam masih menunggu lanjutan kalimat Davina. Dirinya sendiri masih berusaha mengatur hatinya saat mendengarkan kalimat penolakan itu.

No ChoiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang