Bandung, Oktober 2008
Hiruk pikuk jalan kota Bandung ditengah malam tetap ramai. Didepan sebuah kafe besar ramai pengunjung. Alunan musik dari dalam tidak cukup terdengar dengan jelas dari luar. Beberapa anak muda berjalan turun dari Alphard putih yang terparkir dengan rapi.
Dengan manja Diera menggamit lengan Tristan dan berjalan disampingnya.
Remang-reman cahaya menyapa mereka saat alunan musik menyambut langkah mereka didepan pintu. Diera dan Tristan melangkah menuju sebuah meja yang terletak disudut ruangan kafe tersebut. Teman-teman mereka telah melayang diatas lantai dansa berbaur dengan keramaian yang ada.
Sebuah botol minuman yang tidak asing untuk mereka berdua, bersanding dengan sepiring cemilan yang menanti ulurang tangan keduanya. Tristan masih menikmati setiap dentuman musik yang bergetar diatas lantai yang dipijaknya. Diera mengamati teman-temannya dan tersenyum melihat mereka.
"Tan, turun, yuk." Diera menarik lengan Tristan membuatnya menatapa Diera. Tristan hanya tersenyum mendengarkan ajakan Diera.
"Turun aja."
"Sendirian nggak rame!!" Kembali hanya senyuman yang didapatnya.
Mengerti apa yang diinginkan Tristan, Diera akhirnya duduk kembali masih dengan menikmati musik yang ada. Dia tidak dapat memaksakan kehendaknya lagi kini. Sesuatu yang disembunyikan Tristan, membuatnya hanya dapat terdiam ditempat.
Tristan menuangkan isi dalam botol yang ada dihadapannya ke dalam dua gelas dan memberikannya untuk Diera. Mereka menikmati malam sendiri.
Semakin larut, kafe semakin ramai.
Meskipun mereka berdua telah menghabiskan dua botol minuman, malam masih panjang menyambut mereka.
Dengan Diera disampingnya, tetap saja tidak dapat membuat Tristan bernafas lega. Semakin hari semakin sesak saja. Perasaan-perasaan aneh dan asing mengganggunya terus menerus. Keadaan rumahnya membuatnya terus terjebak dalam setiap skenario hidup. Pertanyaan yang selalu ada tidak pernah ada jawabannya.
Dengan membaringkan kepalanya pada sandaran kursi, Tristan mencoba menghilangkan semua masalah yang selalu menghimpitnya. Namun, ketiga wajah wanita yang menghiasi hidupnya terus melayang-layang dalam pandangannya.
Setiap wajah itu memberikan kesannya tersendiri. Memberikan rasanya sendiri. Dan memberikan warnanya sendiri. Berada diantara mereka tidaklah mudah untuk Tristan, karena hatinya tidak dapat jujur.
***
Berulang kali Arlyn mencoba menghubungi ponsel Tristan, tapi belum juga ada jawaban. Beberapa hari belakangan ini, Tristan selalu menjadi tempat sampah untuk Alryn. Dia dapat menumpahkan berbagai hal yang dirasakannya pada Tristan kapanpun.
Tapi untuk malam ini, dia tidak dapat melakukannya. Tristan tidak memberikan kabar. Tristan tidak dapat dihubungi.
"Kemana, sih?" Sekali lagi Arlyn mencoba menghubungi nomor Tristan. Tapi tetap sama. Tidak ada jawaban masuk.
Setelah sekian kali mencoba, Arlyn memutuskan untuk meninggalkan pesan suara untuk Tristan. Dia berharap Tristan dapat mendengarkan pesannya segera. "Ka dimana? Hubungi aku segera!!!" Dengan suara setengah membentak Arlyn memutuskan hubungan teleponnya.
Arlyn membanting ponselnya diatas tempat tidurnya, bersamaan dengan rebahnya tubuhnya disana.
Arlyn memejamkan matanya dan mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Jangan ikut campur hubungan gue dengan Bela!!!" Arlyn mencoba menahan air mata yang hampir jatuh dari pelupuk matanya.
Tatapan mata Arvel sangat menyakiti hatinya. Sebuah kesalah pahaman terjadi diantara mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Choise
Teen FictionBagaimana jadinya kalau cewek yang kamu suka adalah cewek yang membuatmu menderita seumur hidup, melupakan jati dirimu, dan berpura-pura menjadi orang lain demi menyenangkan banyak orang?