Bandung, September 2008
Arlyn melangkah dengan gontai menuju halte sekolahnya. Langit mendung sepertinya menemaninya hari ini. Sejak Bela datang ke rumahnya bersama dengan Arvel, Arlyn merasa tempatnya telah direbut kini. Dan itu membuatnya enggan untuk kembali pulang ke rumahnya.
Dia duduk didepan halte selama berjam-jam lamanya. Meski hari telah menjelang sore, Arlyn tetap tidak berkutik dari tempatnya. Dulu dia akan pergi ke rumah Davina bila menghadapi masalah seperti ini. Tapi sekarang hubungannya dengan Davina yang buruk semakin parah saja.
Arlyn memperhatikan jalan disekitarnya dan hanya dapat melihat berbagai kendaraan lalu lalang dihadapannya. Beberapa angkot yang biasa ditumpanginya tidak membuatnya berniat berdiri dan meninggalkan tempat tersebut.
Waktunya habis hanya untuk memikirkan berbagai hal yang kini semakin membuatnya merasa bahwa dunia sedang bersikap tidak adil padanya. Arlyn menundukkan kepalanya dan memperhatikan kakinya yang mengayun dengan sepatu kets yang dikenakannya. Dia tidak mempedulikan keadaannya lagi kini.
Meski matahari telah hilang dan siang berganti malam, Arlyn tetap membiarkan dirinya berada disana menyambut malam.
"Kenapa masih disini?" sebuah suara yang sangat dirindukannya selama beberapa bulan dan sempat membuatnya hampir melupakan sosok itu, menyadarkan Arlyn dari lamunannya. Dengan cepat dia mendongakkan kepala dan tersenyum senang melihat Tristan berdiri disampingnya.
Kini Tristan yang ditemuinya sangat tampak berbeda dengan Tristan yang dulu. Gaya berpakaiannya yang kasual membuat Arlyn pangling saat melihatnya.
Ingin rasanya dia melompat ke arah Tristan dan memeluk Tristan tapi itu tidak dilakukannya. Sebagai gantinya dia memasang raut wajah kesal dan penuh kerut dimana-mana saat Tristan menatapnya. "Ada apa? Ada masalah lagi?" tanya Tristan yang langsung mengambil tempat duduk disamping Arlyn.
Arlyn tetap diam dan menatap jalan didepannya sekali lagi. Angkot-angkot yang berseliweran didepannya seolah tampak sangat menarik untuk diperhatikan daripada Tristan. Keinginannya untuk bertatap mata dengan Tristan menjadi sebuah kesempatan yang dibuatnya sulit untuk diraih.
"Hei," panggil Tristan lagi. Arlyn tetap tidak berkutik. Dia masih tetap dengan sikapnya. Tristan yang tidak tahu apa yang membuat Arlyn menjadi seperti ini akhirnya memaksa Arlyn untuk menatapnya. Dia memutar pundak Tristan sehingga dia dapat melihat mata coklat Arlyn.
"Ada apa? Kamu nggak kangen?" tanya Tristan lagi.
Arlyn mendesah dengan berat sebelum menjawabnya. "Ka Tristan kemana aja? Kenapa baru muncul sekarang? Kenapa teleponku nggak diangkat? Kenapa semua smsku nggak dibalas?" tanyanya cepat. Semua pertanyaan itu memang sudah lama ingin ditanyakannya. Karena ketidak jelasan keberadaan Tristan, Arlyn hampir membiarkan hatinya menerima sosok lain yang baru dikenalnya.
Tristan tertawa kecil melihat air muka Arlyn yang berubah cemas, khawatir, bahagia, dan kesal dalam waktu yang sangat cepat.
"Jangan ketawa, nggak ada yang lucu," ucapnya lagi.
Tristan menghentikan tawanya dan menatap mata coklat yang menuntut jawaban darinya. "Aku pikir tadinya, kuliahku nggak akan terlalu berat. Tapi baru masuk aja, aku udah dapat banyak tugas dari dosen. Dan nggak bisa ngehubungi siapapun."
"Terus kenapa bisa ngehubungi Ka Diera?" tanya Arlyn masih belum yakin.
Kembali Tristan tertawa sejenak. Dia tidak tahu dari mana Arlyn mendapatkan berita seperti itu. Tapi itu cukup menghiburnya. Semua pertanyaan yang diajukan Arlyn meyakinkan dirinya bahwa Arlyn membutuhkannya. "Kami satu kampus."
Antara percaya dengan tidak, Arlyn memutuskan untuk tidak membahasnya. Hatinya cukup lelah untuk terlalu memikirkan semua masalah hati ini. Dia kemudian menghembuskan napas dan kembali keposisinya semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Choise
Teen FictionBagaimana jadinya kalau cewek yang kamu suka adalah cewek yang membuatmu menderita seumur hidup, melupakan jati dirimu, dan berpura-pura menjadi orang lain demi menyenangkan banyak orang?