Sudah sejak setengah jam yang lalu Fabian mondar-mandir didepan gerbang rumah Arlyn. setelah pembicaraannya dengan Davina, dia masih ingin memastikan banyak hal. Dia merasa bersalah mendengar ucapan Davina. Fabian memang belum yakin dengan permasalahan yang terjadi. Tapi dia mulai menyadari kehadirannya adalah bencana.
Dia ingin mengetahui hal lainnya dari Arlyn, dan untuk alasan itu dia sekarang berada didepan rumah Arlyn seperti ini. Pintu gerbang itu tidak pernah terkunci saat pemilik rumah ada didalamnya. Namun keyakinan Fabian mulai diuji oleh otaknya sendiri.
Rasa bersalahnya membawanya sampai ketempat ini. Tapi ditempat lain dari hatinya, dia tidak ingin mengetahui kenyataannya. Hatinya menginginkan kehadiran Arlyn. dan tempat itu yang menolak untuk mendengarkan sebuah kebenaran.
Tapi, kedua kalimat yang sama yang diucapkan Davina dan Arlyn mendorong keingintahuannya untuk masuk melewati gerbang tinggi didepannya. Dia menjadi penyebab retaknya hubungan mereka. Untuk sebuah alasan yang tidak dipahaminya, Fabian menjadi buah simalakama untuk dua sahabat itu.
Dengan sebuah pertanyaan yang ada dibenaknya, Fabian membuka gerbang tinggi itu dan melangkah masuk ke dalamnya.
Dia sudah sering keluar masuk rumah itu dan dia dapat mengetahui setiap seluk beluk rumah itu dengan jelas.
***
"Ka, ambilin telurnya!" teriak Arlyn ditengah bisingnya suara mixer. Edgar yang sedari tadi menemaninya membuat kue ikut membantu Arlyn didapur.
Dia tidak kebaratan kalau nantinya seluruh badannya dipenuhi aroma kue. Dia cukup senang dan menikmati bagaimana Arlyn sibuk dengan buku resep dan semua bahan makanannya.
Kedekatan mereka semakin memantapkan hati Edgar untuk semakin maju melangkah ke tahap-tahap selanjutnya.
"Berapa telurnya?"
"Tiga!" jawab Arlyn. Edgar membawakan permintaan Arlyn dan membantu Arlyn untuk memecahkan telur tersebut. Kali pertama Edgar membantu Arlyn membuat kue tidak cukup baik, karena didalam adonan kue tersebut ada kulit telor. Untuk saja yang saat dimakan, Leon dan menghindari kulit telor itu masuk ke dalam tenggorokannya.
Edgar memasukan kuning telor yang diminta oleh Arlyn kedalam mixer. Dan Arlyn kembali mencapurkan semua bahannya.
Tanpa disadarinya, ikatan rambutnya terlepas saat tangannya penuh dengan adonan. Rambut ikalnya terbang kesana kemari dan jatuh menutupi wajahnya. Arlyn meniup setiap helai rambutnya agar tidak mengganggu penglihatannya, namun rambut itu terus jatuh dan mengganggunya.
Edgar yang melihat usaha Arlyn untuk menyingkirkan setiap helai rambutnya tersenyum geli. Dan dengan saputangan yang dibawanya, Edgar berjalan kebelakang Arlyn. tangannya mengumpulkan semua helai rambut Arlyn yang menutupi wajahnya.
Arlyn dapat merasakan bagaimana sentuhan tangan Edgar mendekati wajahnya saat mengambil beberapa helai rambut yang terjatuh disana. Jantungnya berdegup kencang, namun gerakannya terhenti saat dia merasakan hembusan napas Edgar ditelinganya.
"Rambutmu bagus juga," puji Edgar tepat ditelinga Arlyn. Tangan Edgar mengikat semua rambut Arlyn dengan sangat rapi. Dan dengan tangan itu juga, Arlyn dapat merasakan rambutnya disentuh perlahan. Tubuh tinggi Edgar tidak beranjak juga dari belakang Arlyn, meskipun rambutnya telah rapi. Arlyn mulai merasakan tubuhnya panas dan kegugupan melandanya. Dan cepat dia mengalihkan perhatian mereka saat itu.
"Vanilanya, Ka," ucapnya keras. Arlyn menggeser badannya dari tempatnya semula, membuat Edgar tersenyum geli dan menggelengkan kepalanya. Dia langsung pergi dan berlalu dari hadapan Arlyn dan membawakannya vanila.
"Ini," Arlyn memasang senyuman kaku diwajahnya. Namun dia tetap kembali bekerja. Edgar hanya dapat mengulum senyumnya melihat Arlyn yang salah tingkah didepannya. Arlyn mematikan mesin mixernya dan dalam waktu yang bersamaan Arlyn dapat mendengar suara bantingan pintu yang sangat keras.
"Ada apa, Lyn?" tanya Edgar bingung melihat reaksi Arlyn.
"Nggak ada apa-apa." Arlyn mencoba meyakinkan dirinya dengan ucapannya. Tapi apa yang baru saja didengarnya benar-benar mengusik dirinya. Arlyn melangkah meninggalkan dapur dan berlari menuju ruang tamunya.
Sebuah siluet yang baru saja pergi meninggalkan rumahnya dapat dilihatnya dari ekor matanya. Arlyn mengejar bayangan yang sangat dikenalnya itu. Dia berlari keluar dari gerbangnya dan melihat bagaimana punggung Fabian menjauh dari rumahnya dalam langkah yang besar.
Arlyn berpikir sejenak namun dia tidak berusaha untuk mengejarnya. Dia tidak tahu, tapi sepertinya ini memang satu-satunya cara agar mereka semakin melebarkan jarak. Dan dengan begitu, dia dapat kembali bersama dengan Davina secara perlahan.
"Maaf, Bi."
***
Suara gelak tawa yang hadir saat mesin mobil Arvel dimatikan, membuat Arlyn mengintip pintu masuk dari tempatnya. Dia tidak tahu dengan siapa Arvel sedang tertawa tapi dia dapat mendengar dengan jeas suara seorang perempuan yang hadir bersama dengan kemunculan Arvel.
Arlyn terus mengamati pintu masuk tanpa berkutik sedikitpun. Dia sangat ingin mengetahui teman Arvel yang datang hari ini.
"Harusnya ekspresi terkejut Bobi kita rekam, tuh!" semakin lama suara perempuan itu semakin jelas ditelinga Arlyn.
Arlyn duduk ditempatnya masih sambil menunggu. Pintu rumah itu kini dibuka dari luar. Arlyn dapat melihat Arvel masuk ke dalam rumahnya dengan tawa diwajahnya. Dan dia merasa aman sekarang. Dan seseorang perempuan yang hadir setelah Arvel, membuat rahang Arlyn mengeras seketika. Dia tidak tahu kenapa ini bisa terjadi.
Matanya terbelalak kaget, mulutnya terkatup rapat. Tubuhnya dia menegang ditempatnya. Dia tidak membayangkan kalau dia akan melihat hal seperti ini didepan matanya secara langsung.
Bela bersama dengan Arvel!
Arlyn tidak mungkin lupa wajah perempuan yang sudah mengkhianati Arvel dan memutuskannya karena cowok lain itu. Dan sekarang dia ada dihadapannya?
Rasanya darahnya mengalir degan cepat diseluruh tubuhnya dan jantungnya memompa dengan sangat kuat! Dia tidak dapat membayangkan kalau Arvel akan berjalan kembali bersama dengan Bela. Dia sangat membenci Bela dan seharusnya perempuan itu tidak ada disini.
"Ngapain dia kesini?!" pertanyaan Arlyn jelas menyiratkan aura penolakan terhadap kehadiran Bela. Tapi Arvel tetap tersenyum tenang menanggapi kemarahan Arlyn. dia berusaha untuk tetap tenang dan melingkarkan tangannya dipundak Arlyn.
"He, ngapain disini? Pulang sana! Jangan ganggu Arvel!!!" bentak Arlyn tanpa ampun pada Bela. Namun apa yang dilihatnya benar-benar mengocok perutnya. Bagaimana bisa Bela bersikap manja seperti itu untuk mendapatkan perlindungan dari Arvel. "PULANG!!!" bentak Arlyn lagi.
"Lyn, tenang, dong. Masa sama tamu kamu seperti ini sikapnya?" Arvel mulai membela Bela.
"You must go home know!!! I'll kill you!!!" bentak Arlyn lagi.
Kalimatnya memang terdengar lucu untuk telinga Bela, tapi dia tetap menahan tawanya dan bersikap manja saat Arvel melihatnya.
"Lyn, Shut up!!!" merasa aksinya tidak mendapat dukungan dari Arvel, Arlyn akhirnya memutuskan untuk meninggalkan mereka. Dia berlari kekamarnya dan membanting pintu kamarnya dengan kuat.
Meskipun begitu, Bela dan Arvel masih dapatmendengarkan jeritan histeris Arlyn yang memaki Bela dan menunjukkanketidaksukaannya pada Bela.���(�sQP��
KAMU SEDANG MEMBACA
No Choise
Teen FictionBagaimana jadinya kalau cewek yang kamu suka adalah cewek yang membuatmu menderita seumur hidup, melupakan jati dirimu, dan berpura-pura menjadi orang lain demi menyenangkan banyak orang?