18

10 0 0
                                    

Tristan mengurung dirinya dikamar sejak dia pulang sekolah. Rumahnya kosong dan tidak ada yang ingin dilakukannya saat ini. Buku-buku tugasnya dibiarkan begitu saja berserakan diatas tempat tidurnya. Dia sedang mencoba memikirkan sesuatu.

Lama dia membaringkan diri diatas tempat tidurnya sambil memejamkan matanya. Pikirannya terus bekerja dan memikirkan banyak hal namun tak dapat dipecahkannya sendiri.

Deru mesin kendaraan bermotor yang terdengar diluar rumahnya, seolah menemani kesendiriannya.

Tepat saat jam rumahnya berdentang delapan kali, Tristan bangkit dari tempat tidurnya dan duduk didepan meja belajarnya. Sebuah laptop yang lama tidak dibukanya, akhirnya menjadi tujuannya saat ini.

Seperti halnya foto-foto yang terpasang disekitar meja belajarnya, foto Arlyn menjawadi walpaper laptop miliknya.

Dia meneliti lebih dulu seluruh wajah didepannya, bagaimana wajahnya yang hampir bulat itu tertutup oleh poni dan rambutnya yang ikal tertiup angin sore. Foto close-up Arlyn hanya menunjukkan keceriaannya disana.

Foto itu sengaja diambil saat Arlyn tengah berada bersama dengan teman-temannya. Dan saat itu, saat dia mencoba lari dari kejaran teman-temannya karena telah melempar sepatu Davina pada seorang pejalan kaki didekat mereka. Dan membuat Davina mendapatkan teguran keras dari orang tersebut.

Kembali merasakan hal yang sama dengan apa yang pernah dirasakannya beberapa hari yang lalu, Tristan tersenyum sendiri. Dia merasakan bagaimana kesenangan Arlyn saat melakukan hal tersebut.

"Hari saat dia nangis, akan benar-benar berbeda dengan hari saat dia tersenyum," ujarnya pelan, seolah sedang berbisik pada seseorang.

Tristan mencoba memikirkan sebuah syair untuk ditulisnya. Dia mencari bukunya dan juga pulpen dari dalam laci lemarinya.

Dia kembali memejamkan matanya sambil mencari peralatan istimewanya itu. Dengan membayangkan wajah Arlyn, dia merasa dia dapat melakukan sesuatu saat ini. Mungkin bukan hanya sekedar menulis puisi untuknya, tapi sesuatu yang lain.

"Dia seperti langit yang sedang mendung kemaren," ujarnya lagi sambil tersenyum geli mengingatnya.

Tristan membuka buku usang tebalnya itu. Tapi dari balik sampul belakang buku itu, ada secarik kertas yang ujungnya menjulur keluar.

Tristan masih menatap carik kertas itu tapi tidak dapat mengingat kapan dia menyimpannya disana. Dengan kening yang bertaut kebingungan, Tristan menarik kertas tersebut.

Hanya selembar kertas HVS yang dilipat dengan sangat rapi sehingga menjadi sangat kecil. Lama Tristan memperhatikan kertas tersebut dan akhirnya dia membuka lipatan-lipatan kertas tersebut dan membaca isinya.

Langit cerah itu memang bukan untukku.

Permata biru indah itu bukan untuk kumiliki.

Entah siapa pemiliknya tapi yang pasti dia bukan untukku.

Walaupun takdir tidak untuk mempersatukanku dengannya.

Tapi aku tetap ingin menyaksikan senyumannya.

Aku hanya ingin menyimpan tawanya dalam kalbu.

Jaga dia untukku...

Berulang kali Tristan membaca tulisan dalam kertas itu dan mencoba mengingat kembali semua tulisannya. Dia memang pernah menuliskan kisah yang sama seperti ini tapi catatan itu sempat hilang dulu. Tapi apa mungkin itu catatannya.

Dilipatnya kembali kertas tersebut dan disimpan pada tempatnya. Tristan masih terbengong dan memikirkan semua tulisan itu. Dia mencoba membuka ingatan kecilnya saat menulis hal itu. Tapi yang ada kepalanya semakin sakit saat memikirkannya.

***

"Jaga dia untukku?" tanya Ferris saat selesai membaca tulisan dalam kertas yang dibawa oleh Tristan. Karena semalam dia tidak berhasil mengingat tulisan ini, dia mencoba memberikannya pada Ferris. Kadang untuk soal menafsirkan isi tulisan abstrak, Ferris lumayan hebat.

Sambil memperhatikan barisan-barisan keramik putih dibawahnya, Ferris mencoba memikirkannya. Tristan yang duduk diatas jendela kelasnya masih menunggu Ferris yang sedang berpikir dengan keras itu.

"Ini jelas puisi patah hati," ujarnya kemudian.

"Itu, sih, aku udah tahu. Tapi patah hati sama siapa?" tanyanya Tristan lagi.

Tidak mengerti dengan ucapan Tristan, Ferris menatap sahabatnya itu dengan mata terbelalak kaget. "Ini, kan, puisimu. Kenapa masih tanya, patah hati sama siapa?!" ujarnya kesal.

Tristan hanya tertawa kecil mendengar ucapan Ferris itu. "Sebenarnya aku nggak yakin itu puisiku." Ferris terbelalak kaget mendengarkan ucapan Tristan. "Aku memang pernah menulis puisi seperti itu, tapi jelas itu bukan tulisanku."

"Nggak ngerti!" ujar Ferris jujur. Tristan kembali tersenyum dan memberikan sebuah tatapan yang sulit untuk diartikan oleh Ferris.

"Mungkin ada orang yang dapat mengerti ini."

***

Tristan mencoba menenangkan hatinya didalam kamarnya yang dingin. Karena tulisan yang ditemukannya kemaren, dia akhirnya harus mencoba untuk menata ulang hatinya yang sempat kacau.

Dia mulai meyakini kembali sesuatu. Sesuatu hal yang selama ini menjadi keyakinannya untuk bertahan. Tapi beberapa saat yang lalu keyakinannya goyah dan hampir menghancurkan seluruh hatinya karena kehadiran seseorang.

"Dia harus tetap seperti ini. Karena inilahtakdirnya."

No ChoiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang