Bandung, Februari 2008
Sudah hampir setengah jam berlalu dan Arlyn masih berdiri didepan gerbang sekolahnya. Berulang kali dia memperhatikan telepon genggamnya meskipun tidak ada siapapun yang menghubunginya.
Waut wajahnya jelas menunjukkan kekesalan. Bukan hanya karena dia terpaksa menunggu seperti siang ini. Tapi, karena keadaan Arvel yang semakin hari semakin aneh. Belum puus dengan Bela tapi gelagatnya seperti orang yang sudah kehilangan semngat hidupnya.
Arlyn berniat untuk mengabarkan kedua orang tuanya. Namun, setelah dia memikirkan kembali rencananya, dia mengurungkan niatnya. Dia tidak ingin menambah orang lagi untuk mencemaskan keadaan Arvel.
Orang tuanya pasti akan segera terbang mengunjungi mereka, kalau sampai hal itu terjadi. Kalau saja dia tadi sudah menerima ajakan Davina untuk bersamanya, mungkin dia tidak akan kepanasan seperti ini.
Setelah bersabar menunggu dibawah teriknya matahari, akhirnya mobil crv putih yang sedari tadi ditunggunya datang juga.
Mobil tersebut tepat berhenti didepannya dan kaca penumpang yang berhadapan langsung didepannya diturunkan oleh pemiliknya. Dari dalam mobil terlihat Leon yang sedang memasang wajah bersalah karena membuat Arlyn menunggunya terlalu lama.
"Udah lama, Lyn?" tanya Leon.
Tapi pertanyaannya tidak mendapat jawaban dari Arlyn. Dengan cepat, Arlyn membuka pintu mobil dan segera masuk ke dalam. Dipasangnya sabuk pengaman tanpa mempedulikan tatapan kebingungan Leon.
"Mau pergi sekarang?" tanya Leon lagi mencoba mencairkan suasana. Tapi Arlyn menatapnya dengan kesal dan mata coklatnya menjelaskan kekesalannya secara tidak langsung.
"Ok," jawab Leon lagi. Segera diinjaknya pedal kopling dan memindahkan persneling. Gas ditekannya perlahan hingga mobil tersebut langsung melaju cepat diatas jalan raya.
Sepanjang perjalanan, Arlyn tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Dia hanya menatap jalan didepannya lurus. Pikirannya menerawang jauh.
"Kita mau kemana sekarang?" sekali lagi percobaan mencairkan suasana Leon tidak membuahkan hasil. Arlyn tetap diam.
Dan saat seperti ini, hanya ada satu tempat yang ampuh yang bisa membuat suasana hati Arlyn berubah. Dan mau membuka mulutnya lagi.
***
Dua mangkuk eskrim telah dilahap Arlyn dengan brutal, tapi dia masih juga tetap diam. Leon yang melihat bagaimana perlakuan Arlyn terhadap dua piring eskrim, mulai bergidik ngeri. Dia tidak tahu kalau saat marah seperti ini, Arlyn bisa sampai sebrutal itu.
Dalam suapan besar, Arlyn memasukkan eskrim tersebut ke dalam mulutnya. Tidak dipedulikannya lidahnya yang kelu ataupun bibirnya yang sudah hampir membeku karena dingin.
"Lyn, pelang-pelan aja makannya," ujar Leon lebih sabar.
"Nggak bisa! Aku lagi kesel!" ujarnya dengan mulut penuh es. Dan sekali lagi dia memasukkan suapan es yang besar ke dalam mulutnya, membuat tidak tersedia ruang yang banyak lagi di dalam mulutnya.
Senyuman Leon mulai mengembang diwajahnya mendengarkan jawaban Arlyn. Meskipun terdengar sangat galak, tapi lebih baik daripada dia diam.
Leon membiarkan Arlyn menghabiskan mangkuk keduanya. Selesai menelan semua es didalam mulutnya dan meneguk air putih, Arlyn mengangkat tangannya lagi hendak memesan satu mangkuk eskrim lagi. Tapi, Leon cepat menahan tangan Arlyn dan menurunkannya begitu saja.
"No ice cream! Ok?" dengan tegas Leon melarang.
"Kenapa? Aku masih mau makan."
"Kalau mau makan, kita ke food court." Leon menaikkan sebelah alis matanya menunggu jawaban atas penawarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Choise
Teen FictionBagaimana jadinya kalau cewek yang kamu suka adalah cewek yang membuatmu menderita seumur hidup, melupakan jati dirimu, dan berpura-pura menjadi orang lain demi menyenangkan banyak orang?