CHAPTER 40

3.6K 242 0
                                    


"2 siang. Shane pulang pukul itu. Jullian mengatakannya padaku barusan"
"Benarkah? Baiklah, aku akan izin pulang lebih cepat nanti"
"Apa? Kau akan izin?" Edwin tidak yakin.

"Hmm, ada apa?"
"Pelajaran terakhir adalah kelas Mr. Kyle. Kabarnya kita akan tes hari ini, kau tahu sendiri kan konsekuensinya bagaimana jika tidak mengikuti tes?" Camille terdiam.

Jika ada siswa yang tidak mengikuti tes pelajaran Mr. Kyle, biasanya ia akan mengancam nilai mereka. "Sudahlah, tidak mungkin ia tidak memberikan kita nilai bukan?"

"Tidak ada hal yang tidak mungkin, apalagi untuk guru yang paling diwaspadai itu. Kau mau kemana memangnya?"
"Menjemput Shane. Aku sudah berjanji"
"Memangnya kau sudah ada dihubunginya?" Camille terdiam lagi.

Benar, Shane bahkan tidak menghubunginya sama sekali. "Dia sedang sibuk, kau tahu itu"

"Dia sendiri bilang kalau akan mencari kabar ibunya di sana, bukan menemui klien - klien penting"

Edwin berhasil membuat gadis itu tidak bersuara.

"Kau masih ingin menjemputnya setelah mengetahui dia bahkan tidak mencari tahu keberadaanmu?"
"Ya, aku yakin" kata Camille walaupun dalam hatinya ia sangat tidak yakin.

Edwin menatapnya dalam diam. Semoga temannya itu tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan.

"Aku tahu kau sedang berbohong. Tapi aku akan meminta izin pada Mr.Kyle nanti. Aku tidak yakin kau bisa memberikan alasan yang jelas untuknya" Camille langsung memandang temannya itu.

Ia mengembangkan senyumannya.

"Terima kasih, Ed. Kau benar - benar membantuku. Aku banyak sekali berhutang hal seperti ini padamu" Edwin tidak menjawab. Ia terus menatap mata gadis itu lekat - lekat.

Camille berusaha untuk mengalihkan pandangan darinya. Laki - laki itu benar - benar bisa mengetahui bagaimana suasana hatinya yang sebenarnya.

"Ayo, makan siang. Aku sedikit lapar, Ed" kata Camille mulai berdiri dan berusaha mengalihkan. Edwin hanya memandangnya masih dalam keadaan duduk.

Sepertinya ia tahu keadaan Camille yang sebenarnya.

***

Shane sudah berjongkok di depan makam ibunya. Ia benar - benar menyempatkan waktu untuk pergi kemari.

Di batu nisan sudah tertera nama ibunya itu. Ia benar - benar merindukan sosoknya itu. Matanya tidak kuat melihat makam yang ada di hadapannya saat ini. Segala emosi yang dipendamnya selama ini dikeluarkannya di sana. Shane tidak kuasa menahan air matanya lagi. Tanpa sepengetahuannya bahwa ibunya itu sedang sakit, sudah membuat Shane sangat kacau. Apalagi itu semua berujung dengan kematian seperti yang dihadapinya saat ini.

Shane merasa kebersamaannya bersama ibunya itu masih kurang. Ia masih ingin menghabiskan waktu dengan ibunya.
Orang yang paling dekat dengannya yaitu hanya ibunya. Nyonya Ovie Bradley. Bahkan kematiannya itu tidak diketahui oleh anak - anaknya sendiri. Itu membuat Shane sedikit merasa sesak jika mengingatnya.

"Ibu, kenapa kau tidak mengatakan pada kami kalau kau sakit waktu itu? Kenapa kau tidak menghubungi Olive? Kenapa kau tidak menghubungiku? Kemapa kau meninggalkan kami?" Shane masih terus menangis sambil mengusap batu nisan yang ada di depannya itu.

"Mungkin aku bodoh membiarkanmu pergi ke London sejak awal. Aku menyesal sudah tinggal bersama ayah. Aku benar - benar menyesal karena tidak mengetahui kabar kepergianmu sama sekali. Dan kenapa harus Tuan Dylan? Kenapa Dylan itu berani berbuat ini semua?"

Tangisannya mulai meledak - ledak. Sesekali Shane sesenggukan menahan air matanya.

"Aku berjanji akan menghukum mereka, ibu. Aku berjanji. Aku akan menghukum mereka semua. Bahkan ayah sendiri. Aku masih tidak terima, aku hanya tidak habis pikir kenapa ia menyembunyikan ini semua? Ya tuhan aku tidak bisa menanggung semuanya sendiri" laki - laki itu berusaha menyatakan isi hatinya pada ibunya.

PAYBACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang